Surat Terbuka untuk Mas Menteri Nadiem Makarim: Dari Pustakawan sekolah yang percaya bisa kontribusi untuk kesuksesan Kurikulum Merdeka
Hari ini kita merayakan Hari Literasi Dunia yang jatuh pada hari Kamis, tanggal 8 September 2022. Sebagai insan yang bergerak dalam sebuah perkumpulan atau asosiasi yang memayungi insan pekerja profesional informasi sekolah, saya tergerak untuk menyampaikan beberapa hal terkait dengan keinginan perubahan ke arah dunia kepustakawanan yang lebih dianggap dan ditempatkan pada posisi yang jelas dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Dalam perayaan Hari Literasi Dunia tahun 2022 ini, UNESCO mengangkat tema: Transforming Literacy Learning Spaces. Tema yang langsung membawa saya ke tempat kami bekerja, perpustakaan sekolah.
Sistem Kurikulum Merdeka dan Asesment Nasional menempatkan literasi dan numerasi sebagai komponen dasar pembentukan peserta didik menjadi pembelajar seumur hidup. Baru-baru ini dalam Merdeka Belajar Episode 22, telah diluncurkan Transformasi Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Saya turut gembira-meskipun tidak mendengar profesi pustakawan disebut Mas Menteri sebagai mereka diharapkan gembira dengan hal ini.
Mengapa, saya merasa mendapatkan sebuah tantangan lagi, bagaimana perppustakaan sekolah bisa lebih berperan dalam menyiapkan para siswanya dalam hal literasi sebelum agar mereka lebih siap dalam bertransisi memasuki dunia perguruan tinggi. Bukan untuk cari tantangan dalam perkara baru, hanya ingin agar sistem pendidikan di Indonesia menempatkan pustakawan dan perpustakaan sekolah pada ranah seharusnya.
Salah satu prinsip perubahan dalam Transformasi Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri ini adalah fokus pada kemampuan nalar, yang saya percaya membaca adalah kegiatan penting untuk meningkatkan kemampuan ini.
Seleksi Nasional nantinya tidak lagi didasarkan pada tes mata pelajaran namun pada tes skolastik yang mengukur potensi kognitif, penalaran matematika, literasi dalam Bahasa Indonesia dan literasi dalam Bahasa Inggris. Saya setuju dengan prinsip ini karena menurut saya ini adalah landasan belajar yang sesungguhnya.
Gaung pentingnya literasi dan implementasinya, sayangnya tidak tercermin pada skor yang baik dalam program asesmen siswa internasional, PISA untuk Indonesia. Pada tahun 2000 score literasi Indonesia adalah 371. Setelah itu pergerakan menaik dan berhenti dititik tertinggi di tahun 2009 pada skor 402, lalu menurun pada titik skor 371 lagi pada tahun 2018. Perlu diingat bahwa Gerakan Literasi Nasional digalakkan implementasinya pada tahun 2015 (Djohan Yoga, 2021). Salah satu penyebab rendahnya skor literasi pada para siswa ini adalah, mereka dapat membaca isi bacaan namun kurang dalam memahami akan isi bacaan.
Pertanyaan saya, siapa yang bertanggung jawab untuk implementasi literasi dalam sistem pendidikan di Indonesia?
Sistem pendidikan Merdeka Belajar membutuhkan support sistem yang kuat dan masing-masingnya paham benar dengan apa perannya dalam literasi dan numerasi, termasuk pustakawan sekolah dan perpustakaannya, yang sayangnya, selama ini masih kurang mendapat perhatian serius dari pemerintah. Banyak perpustakaan sekolah yang baru diperhatikan saat sekolah mengajukan diri menjadi sekolah penggerak, saat mau melakukan akreditasi ataupun ISO. Saat itulah, pemangku jabatan di sekolah memberi kesempatan dan dukungan seluas-luasnya untuk memenuhi capaian yang mesti diraih.
Pada kenyataannya, banyak yang beranggapan bahwa baik pendidik maupun peserta didik yang tetap bisa menjadi sukses tanpa perpustakaan sekolah. Tentui saja, jika ukurannya adalah angka hasil kelulusan atau nilai try out untuk masuk ke perguruan tiggi negeri. Pertanyaannya, apakah nilai yang tinggi ini menjamin seseorang bisa survive dalam membuat keputusan atau memecahkan masalahnya baik dalam kehidupan sehari- hari atau dalam dunia akademisi. Namun, kita bersyukur dengan adanya Kurikulum Merdeka, Asesmen Nasional dan Transformasi Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri menekankan pada kemampuan penalaran dan ukuran pada tes skolastik tadi. Sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia kepustakawan sekolah lebih dari 20 tahun, saya melihat inilah kesempatan menempatkan perpustakaan sekoalh dan pustakawannya pada ranah yang sesungguhnya.
Perpustakaan sekolah adalah ruang pembelajaran sekolah baik secara fisik maupun digital sebagai tempat dimana kegiatan membaca, bertanya, riset, berpikir, berimajinasi dan berkreatifitas menjadi pusat bagi perubahan informasi menjadi pengetahuan siswa dan juga bagi pertumbuhan pribadi, sosial dan budaya mereka. (IFLA School Library Guidelines 2015).
Jika perpustakaan sekolah diberi kesempatan seluas - luasnya dalam aturan dan kebijakan pemerintah untuk berkolaborasi dalam kegiatan belajar mengajar terkait literasi dan litersi infomasi yang mengacu pada definisi di atas, saya percaya perpustakaan sekolah akan menjadi salah satu sistem support yang penting untuk mendukung dan mengimplementasi Kurikulum Merdeka yang nantinya akan menghasilkan para siswa yang mencapai cita-citanya sekaligus menjadi penduduk yang bertanggung jawab dalam masyarakat demokrasi.
Referensi:
Djohan Yoga, Ph.D. Menggeser Fixed Mindset ke Growth Mindset. dalam Youtube channel Dr Suyanto.id. Growht mindset. Diakses Pada tang gal 5 Agustus 2021
IFLA School Library Guidelines 2015
Comments