Cerdas di Era Informasi: Penerapan Literasi Informasi di Sekolah untuk Menciptakan Pembelajar Seumur Hidup
Tulisan awal disampaikan pada Seminar Nasional yang
diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa PSTP
(Program Studi Teknisi Perpustakaan) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Airlangga, Surabaya. 14 Desember 2013. Tulisan
pada blog ini ditulis 26 Desember 2013 dan sudah diedit setelah
mendapatkan berbagai masukan saat presentasi tanggal 14 Desember 2013 lalu.
Andretta, Susie.(2005). Information Literacy: a Practitioner’s Guide. Oxford:Chandos Publishing.
Asosiasi Pekerja Informasi Sekolah Indonesia & International Federation Library Association/ ALP. (2008). Aplikasi literasi informasi dalam kurikulum nasional (KTSP) : contoh penerapan untuk tingkat SD, SMP dan SMA: Hasil diskusi INDONESIAN Workshop on Information Literacy (INDONESIAN – WIL). Bogor: Author.
Council of Australian University Librarians. (2001). Information literacy standards(1st ed.). Canberra: Council of Australian University Librarians. Ditelusur dari http://www.caul.edu.au/content/upload/files/caul-doc/InfoLitStandards 2001.doc pada 31 Oktober 2011
Diao Ai Lien; Agustin Wydia Gunawan; Dora Aruan & Santi Kusuma. (2007). Tujuh Langkah Knowledge Management. Jakarta:Universitas Atmajaya.
Hasanuddin WS A. Chaedar Alwasilah (Eds).(2009). Ensiklopedi Kebahasaan Indonesia
(Jilid II F-K). Bandung: Penerbit Angkasa.
Farmer,Lesley S.Jand Henri, James. (2008). Information Literacy Assessment in K-12 Setting. Maryland: Scarecrow Press. pp. 13 - 23
George, Hanna Chaterina. (2013). Literasi Informasi Pperpustakaan Sekolah: Studi Kasus Penerapan Program Literasi Informasi di Perpustakaan Sekolah Santa Angela, Bandung. Bandung: Universitas Padjadjaran, pp.135 - 160
Godwin, Peter dan Jo Parker (Eds.).(2008). Information literacy meets Library 2.0. London : Facet Publishing.
Latuputty, Hanna, and Dede Mulkan. (2012, Mei 29-31). Developing a Media and Information Literacy Program: a MIL Program Guide for Teachers and Librarians on Elementary School in Indonesia. Paper disajikan pada The 15th Consal Meeting and General Conference. Ditelusur dari http://www.consalXv.org/uploaded_files/pdf/papers/normal/ID_HANNA_DEDE_MediaInformationLiteracy_fullpaper.pdf pada 10 Desember 2013
Laxman, Putu Pendit, Hanna C George & Lucya Dhamayanti (2013, Agustus). Information Literacy
in Indonesia : The View from the Field. Presentasi pada International Association of School Librarianship The 42nd Annual International Conference incorporating 17th International Forum on Research in School Librarianship. Unpublished.
Shera, Jesse H. 1972. The Foundations of Education for Librarianship. Dalam ,Ray, Michael.S. 2001.”Shifting Sands-The Jurisdiction of Librarians in Scholarly Communication’.ACRL
Tenth National Conference. Denver, Colorado. March 15-18. hlm 1-20 . Ditelusur dari
http://www.ala.org/acrl/sites/ala.org.acrl/files/content/conferences/pdf/mra y.pdf
pada 14 Augustus 2012
Wijetunge, P. and Alahakoon, U. (2005). Empowering 8 : the information literacy model developed in Sri Lanka to underpin changing education paradigms of Sri Lanka. Sri Lanka Journal of Librarianship & Information Management, volume 1 (1) pp.31-41. Ditelusur pada 2 September 2012 dari http://www.cmb.ac.lk/academic/institutes/nilis/reports/InformationLiteracy.pdf
Wilson, Carolyn; Grizzle, Alton; Tuazon, Ramon; Akyempong, Kwame; Cheung, Chi Kim.
(2011). Media and information literacy curriculum for teachers. Paris: UNESCO
Wools, Blanche. (2006, Juni 11). Development of Concept Models: an Outline for a Workshop at the International Workshop on Information Literacy [Powerpoint Slides]. Presentasi pada International Workshop on Information Literacy, Kuala Lumpur, Malaysia
Zurkowski, Paul G. (1974). The Information Service Environment Relationship and Priorities,
(Related Paper Number Five). National Program for Library and Information Services
Washington DC: U.S.National Commission on Libraries and Information Science.
Abstrak
Tulisan ini
mengangkat konsep dasar literasi informasi di dunia pendidikan formal di
sekolah. Latar belakang munculnya konsep literasi informasi, definisi,
model-model yang berkembang dan contoh penerapannya juga dibahas. Mengapa
literasi informasi penting untuk diterapkan serta strategi penerapan dan
tantangannya di dunia pendidikan sekolah juga diungkap dalam artikel ini.
Kata Kunci: literasi informasi, pustakawan sekolah, perpustakaan
sekolah, program literasi informasi, program perpustakaan sekolah
Literasi Informasi:
Latar Belakang dan Definisi
Tema yang diangkat pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa PSTP (Program Studi Teknisi Perpustakaan) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, yaitu Cerdas di Era Informasi menunjukkan dengan tepat bagaimana awam dapat memahami konsep literasi informasi dengan bahasa yang mudah dimengerti. Guna meninjau lebih jauh arti kata dan definisi information literacy, pembahasan dimulai dengan mencari arti dari masing-masing kata tersebut.
Istilah information literacy (IL) berangkat dari pemahaman dasar literacy dan information. Literacy menurut arti katanya dalam bahasa Inggris mengandung makna huruf, melek huruf dan yang berkaitan dengan kegiatan membaca dan menulis. Information menurut arti katanya mengandung sesuatu yang dikatakan, atau bagian dari pengetahuan (The Concise Oxford Dictionary, 1990). Dalam bahasa Indonesia, kata literacy diterjemahkan secara bebas menjadi literasi. Dari beberapa bahan referensi seperti kamus dan thesaurus yang ada, beberapa diantaranya yaitu Kamus Umum Bahasa Indonesia oleh Badudu-Zain tahun 2001, Ensiklopedi Kebahasaan Indonesia Jilid 1 tahun 2009 dan Tesaurus Bahasa Indonesia oleh Eko Endarmoko tahun 2007, tidak ada satupun yang mendaftar kata “literasi” dalam kumpulan entri mereka. Jika mencari arti kata yang sama maknanya dengan arti “huruf” dan “kemampuan baca tulis”, maka istilah yang dapat digunakan adalah aksara dan keberaksaraan (Kamus Umum Bahasa Indonesia: Badudu-Zain, 2001). Kata “literasi” ditemukan dalam Kamus Bahasa Melayu Nusantara yang merupakan hasil karya kolaborasi tiga Negara yaitu Brunei, Indonesia dan Malaysia pada tahun 2003 yang diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei di Bandar Seri Begawan. Entri “literasi”ini digunakan dalam Negara Brunei dan Malaysia yang berarti kebolehan (kemampuan) menulis dan membaca; celik huruf, keberaksaraan. Pada saat presentasi, penulis mendapat masukan dari Prof. Sulistyo Basuki bahwa kata ‘literasi’ ternyata sudah tercantum pada Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 4 tahun 2012. Dengan demikian, penggunaan kata ‘literasi informasi’ masuk dalam ranah kosa kata bahasa Indonesia.
Informasi, jika ditelaah dari arti katanya, dalam Ensiklopedi Kebahasaan Indonesia (2009) mencatat bahwa informasi merupakan suatu garis-besar, gagasan dari informare/informatum bermakna memberi suatu bentuk pada, menguraikan (p.532). Selain itu disebutkan pula bahwa dalam penggunaan umum, semacam pengetahuan yang diperoleh lewat pengalaman langsung, melalui studi, melalui pertanyaan-pertanyaan atau melalui pengonsultasian suatu sumber informasi, seperti buku, jadwal atau teleteks (p.533)
Istilah literasi informasi digunakan dalam dokumen UNESCO yang mendaftar beragam sumber-sumber tentang literasi informasi dari berbagai negara.
Istilah literasi informasi diperkenalkan pertama kali oleh Paul G.Zurkowski pada tahun 1974. Zurkowski (Presiden Information Industry Association) mengusulkan bahwa prioritas utama dari program nasional US National Commission on Libraries and Information Science adalah membangun sebuah program utama untuk mencapai literasi informasi universal di tahun 1984 (Zurkowski, 1974). Usulan ini dengan latar belakang bahwa informasi yang tersedia sangat begitu banyanknya hingga individu dapat mengalami kesulitan utuk mengevaluasinya. Dengan menyadari bawah kemampuan pencarian informasi tiap individu berbeda dari segi waktu dan serta beragamnya ketersediaan informasi, maka ada celah bagi individu untuk tidak dapat menggunakan informasi dengan pemahaman yang baik dan maksimal. Lebih lanjut Zurkowski berpendapat bahwa orang yang terlatih dalam menerapkan sumber-sumber informasi dalam pekerjaan mereka, dapat dikatakan information literate (p.6)
Definisi literasi informasi juga banyak bermunculan. Dalam tulisannya, George (2013) mengungkapkan bahwa:
literasi informasi mencakup seperangkat keterampilan untuk memecahkan masalah ataupun untuk membuat keputusan, baik untuk kepentingan akademisi ataupun pribadi, melalui proses pencarian, penemuan dan pemanfaatan informasi dari beragam sumber serta mengkomunikasikan pengetahuan baru ini dengan efisien, efektif dan beretika (p. 10-11).
Pemahaman dan implemetasi literasi informasi berawal dari kegiatan membaca di perpustakaan. Pada awalnya, anak-anak diajar untuk bisa membaca. Mulailah mereka diperkenalkan dengan deretan abjad A hingga Z. Pelajaran ini diberikan kepada para siswa sekolah dasar. Bahkan saat ini, guru-guru di Taman Kanak-kanak sebagian besar juga sudah mengajari para siswa kecilnya untuk membaca. Mereka belajar mengenal huruf, diikuti dengan mengkombinasi huruf hingga akhirnya mereka bisa membaca suku kata menjadi kata serta mengetahui artinya. Kata demi kata terangkai hingga membentuk sebuah makna kalimat, kemudian makna paragraph hingga akhirnya makna pokok-pokok pikiran dalam sebuah cerita.
Ketika anak-anak ini sudah pandai membaca, maka mereka didorong untuk bisa terus mengembangkan kebiasaan membaca mereka. Pada proses inilah, mereka memperlancar keterampilan membaca mereka. Secara tidak langsung mereka juga menyerap makna bacaan yang mereka baca. Mulailah, koleksi buku-buku dimanfaatkan dan perpustakaan sekolah berperan. Lama kelamaan, kegiatan membaca semakin melatih para siswa untuk belajar menangkap ide dan gagasan dari apa yang mereka baca. Pada proses ini juga, kecintaan para siswa pada kegiatan membaca dapat ditumbuhkan. Proses ini menjadi penting, karena kecintaan pada membaca pada usia dini, akan menolong mereka untuk mempelajari literasi informasi, literasi media dan lainnya. Literasi ini menjadi kunci untuk kesuksesan mereka di tahapan pembelajaran selanjutnya.
Perpustakaan sekolah menyediakan sumber-sumber bacaan bagi para siswa. Mereka dapat memilih bacaan yang mereka suka. Di sisi lain, perpustakaan juga sedapat mungkin dapat memenuhi kebutuhan membaca para siswa sesuai dengan tingkat usia mereka. Inilah konsep mula-mula keberadaan perpustakaan. Citra perpustakaan sebagai tempat menyimpan buku-buku sangat melekat dalam benak masyarakat hingga saat ini. Sejalan dengan perkembangannya, koleksi perpustakaan berkembang bukan saja dari segi jumlah buku namun juga kebervariasian jenis bacaan. Mari kita lihat bagaimana keberadaan perpustakaan mula-mula seperti ini kemudian berubah seiring dengan pergeseran peran pustakawannya dan berkembangnya teknologi informasi.
Berangkat dari urusan ‘dapur’ perpustakaan yang melahirkan spesifikasi kerja perpustakaan menjadi tiga posisi yaitu seperti yang diungkap oleh Shera (1972 dalam Ray, 2001:30) dengan sebutan Tripartite Role yaitu posisi 1) bibliographer – orang yang bertugas memilih buku dan bahan-bahan lainnya untuk penambahan koleksi perpustakaan; 2) reference librarians – orang yang memberikan informasi yang diperlukan oleh pengguna perpustakaan dan 3) cataloging librarians – orang yang membuat kartu katalog atau kartu elektronik dan memastikan bahwa koleksinya sesuai penempatannya. Ketiga peran ini terlihat kaku dan berjarak dengan pemakainya. Jelas sekali relasi antara pustakawan dengan pemakainya hanya terjadi pada peran pustakawan referensi. Meskipun bentuk komunikasi tidak langsung juga terjadi melalui katalog perpustakaan. Harapan pustakawan adalah pemustaka dapat menemukan buku yang dicarinya melalui katalog yang dibuat. Namun cara inipun belum maksimal, karena pemakai perlu mengetahui bagaimana cara menggunakan katalog perpustakaan. Berkembanglah inisiatif untuk mengadakan program pengenalan perpustakaan atau library instruction.
Branch dan Gilchrist (dalam Andretta, 2005:6) menyebutkan pada tahun 1970an Association of Colleges and Research Libraries (ACRL) mendefinisikan library instruction sebagai pemberian tuntunan bagi individu maupun kelompok dalam menggunakan bahan-bahan dan sumber-sumber serta dalam menginterpretasikan alat-alat pembelajaran Namun demikian, menurut Branch dan Gilchrist cakupan pendidikan pemakai ini sebatas pengenalan bahan-bahan pustaka dan interpretasi alat-alat pembelajaran dan bukan kepada perolehan atau pemilihan informasi dalam rangka pembelajaran. Lebih lanjut, Mellon (1988 dalam Andretta, 2005:6-7) mengemukakan argumentasinya bahwa permasalahan dalam penerapan pendidikan pemakai tradisional adalah fokus dari kegiatan ini lebih pada kegiatan perpustakaan yang mencakup pemanfaatan sarana informasi dan bukan kepada tugas-tugas yang lebih kompleks dalam penelurusan informasi berdasarkan pemikiran kritis dan keterampilan evaluatif. Cakupan ini gagal dalam mendorong para siswa untuk menjadi pembelajar seumur hidup. Dengan berkembangnya teknologi pada tahun 1990an, ACRL kemudian mengubah definisi library instruction ini menjadi program yang memberikan instruksi bibliografi melalui beragam teknik yang memungkinkan mereka menjadi information literate (Mellon 1988 dalam Andretta, 2005:7).
Model – model Literasi Informasi
Sejak diperkenalkan tahun 1974, model literasi informasi kemudian berkembang. Perkembangan ini menunjukkan keragaman pendekatan terhadap pemahaman IL di beberapa negara maju. Kebanyakan model literasi informasi yang berkembang adalah untuk aplikasi bagi siswa di sekolah. Hal ini berbeda dengan yang disebut Zurkowski dalam cakupannya pada konteks pekerja. Hal ini menunjukkan kesadaran bahwa para siswa perlu diberikan keterampilan untuk memecahkan masalahnya dengan sistematis sejak dini, agar mereka siap menjadi pekerja yang information literate di dunia kerja mereka nanti.
Pada kesempatan ini, penulis mengambil dua model dari kira-kira lima belas model pembahasan Wools, Blanche tahun 2006 di Malaysia saat kegiatan pelatihan literasi informasi yang dihadiri oleh penulis. Pembahasan dibawah ini akan mencakup lima model yang masing-masingnya akan diuraikan dengan keunikan masing-masing. Kelima model itu adalah:
1. British Model (Wools, 2006) adalah sebuah model yang pertama dikembangkan pada tahun 1981 oleh Michael Marland dalam bukunya Information Skills in the Secondary Curriculum (Wools,2006:1). Model ini adalah yang pertama kali muncul setelah pertama kali dicetuskan konsepnya pada tahun 1974. Tepat tiga tahun dari target yang ditetapkan Zurkowski dalam usulannya untuk mencapai literasi informasi universal di Amerika. Model ini diterapkan di sekolah dan disebut dengan keterampilan informasi. British Model mempunyai sembilan langkah untuk memecahkan masalah yaitu:
(1) Memformulasikan dan menganalisa kebutuhan
(2)Mengidentifikasi dan memeriksa sumber-sumber informasi
(3) Menelusur dan menemukan sumber-sumber individu
(4) Menguji, memilih sumber-sumber informasi
(5) Mengintegrasikan sumber-sumber informasi tersebut
(6) Menyimpan dan mensortir informasi
(7)Menginterpretasikan, menganalisa, mensintesiskan dan mengevaluasi informasi
(8) Mempresentasikan atau mengkomunikasikan informasi dan
(9) Mengevaluasi.
2) Big 6™ (Wools, 2006)
Big 6™ adalah sebuah model literasi informasi yang dikembangkan oleh Michael B.Eisenberg and Robert E. Berkowitz di Amerika Serikat pada tahun 1988. Model ini sangat populer bukan saja di Amerika Serikat melainkan juga negara-negara lain yang sudah menyadari pentingnya penerapan literasi informasi dalam proses belajar mengajar di sekolahnya. Eisenberg dan Berkowitz juga secara aktif dan berkelanjutan melakukan promosi dengan mengeluarkan terbitan-terbitan yang bermanfaat bagi pemakainya. Di Indonesia sendiri, model ini juga popular digunakan di banyak sekolah maju dalam kegiatan program literasi informasi mereka. Bahan-bahan tentang model ini juga sangat mudah diperoleh di internet dibandingkan model-model lainnya. Itu sebabnya, pengguna model ini dapat dengan mudah memperoleh hal-hal baru yang dikembangkan oleh Eisenberg dan Berkowitz melalui internet. Dengan demikian, penggunaannya juga semakin memasyarakat. Apalagi, pengembang model ini juga menciptakan model sederhana bagi para siswa di sekolah dasar untuk memudahkan mereka dalam mengembangkan keterampilan literasi inforami sejak dini. Model ini disebut dengan Super3 yaitu Plan, Do dan Review. Sejauh ini, hanya model ini yang dikembangkan secara khusus untuk anak-anak di sekolah dasar.
Enam langkah dalam model Big 6™ adalah:
(1) Penentuan tugas atau masalah
(2) Strategi pencarian informasi
(3) Pencarian sumber informasi yang diperlukan
(4) Pemanfaatan informasi yang sudah diperoleh
(5) Pengintegrasian informasi yang diperoleh dari sumber-sembert tersebut
(6) Pengevaluasian terhadap hasil informasi yang diperoleh dan proses pemecahan masalahnya.
3) Empowering 8 (Wijetunge & Alahakoon, 2005:14)
Pada tahun 2004, sebuah modul yang dirancang khusus untuk kepentingan orang-orang Asia dirumuskan dalam sebuah pertemuan International Workshop on Information Skills for Learning yang diorganisasi oleh IFLA/ALP dan NILIS di University of Colombo, Sri Lanka. Model yang dihasilkan oleh peserta dari negara-negara Asia ini disebut dengan Empowering 8 dan dipercaya sebagai model yang cocok penerapannya di negara-negara Asia. Ke delapan langkah tersebut adalah:
(1) Mengidentifikasi masalah
(2) Mengeksplorasi sumber informasi
(3) Memilih sumber informasi
(4) Menyusun informasi yang diperoleh
(5) Menciptakan sebuah pengetahuan baru dari informasi yang terkumpul sebagai jawaban dari masalah
(6) Mempresentasikan pengetahuan baru yang sudah tercipta
(7) Memberi penilaian terhadap pengetahuan baru tersebut
(8) Mengaplikasikan pengetahuan baru tersebut.
4) Tujuh Langkah Knowledge Management (Diao Ai Lien et.al, 2007)
Di Indonesia, lahir sebuah model baru yang disebut dengan Tujuh Langkah Knowledge Management yang dikembangkan oleh Diao Ai Lien dan kawan-kawan dari Universitas Atmajaya, Jakarta pada tahun 2007. Model ini merupakan gabungan antara Big 6™ dan Empowering 8 yaitu dengan menambahkan kemampuan ke-8 dari Empowering 8 ke dalam Big 6™ (Diao Ai Lien et.al, 2007:6). Model ini dikembangkan untuk membantu para mahasiswa dalam menyelesaikan tugas penelitian mereka di kampus. Dengan target pengguna yang spesifik ini maka pada langkah Menciptakan kegiatan yang secara jelas dilakukan adalah menulis, yaitu menulis hasil karya penelitian maupun skripsi mereka.
Tujuh langkah dalam model ini adalah:
(1). Merumuskan masalah
(2). Mengidentifikasi dan mengakses informasi
(3). Mengevaluasi sumber informasi dan informasi
(4). Menggunakan informasi
(5). Menciptakan karya
(6). Mengevaluasi karya
(7). Menarik pelajaran
5. Skema dan Aplikasi Media and information Literacy oleh Hanna Latuputty dan Dede Mulkan (2012)
UNESCO masuk ke Indonesia dengan konsep yang lebih luas dari information literacy yaitu Media and Information Literacy (MIL). Sebuah workshop diadakan di Depok untuk membahas sebuah dokumen terbitan UNESO tahun 2011 yang berjudul Media and Information Literacy Curriculum for Teachers. Dokumen ini menjelaskan dan menguraikan topik media dan informasi secara gamblang, namun kurang dapat dipahami dimana letak masing-masingnya secara jelas. Pertanyaan ini muncul karena dari dokumen yang dibuat, hanya satu bab membahas tentang literasi informasi dan kurang terlihatnya pemahaman yang menyeluruh tentang dua konsep ini.
Dari sudut pandang kepustakawanan yang memasukkan media ke dalam cakupan literasi informasi, Latuputty dan Mulkan berusaha membuat sebuah skema yang menjelaskan dimana letak posisi media literacy dan information literacy dalam konteks Democracy and Good Governance yang diusung oleh UNESCO.
Skema Aplikasi dan Konsep Media and Information Literacy oleh Hanna Latuputty dan Dede Mulkan, 2012
Dari, skema ini, maka tahapan literasi informasi dapat digambarkan ke dalam sebuah siklus yang terdiri dari enam langkah, yaitu:
1. NEED/ Kebutuhan Informasi
Kebutuhan dalam langkah awal ini merupakan sebuah kata benda dan bukan kata kerja, karena kebutuhan merupakan bagian dalam kehidupan manusia yang muncul bukan karena suatu pekerjaan yang sengaja dilakukan atau diadakan oleh manusia. Hal ini berdampak pada kemunculannya yang tidak tergantung pada suatu usaha, namun suatu keadaan yang muncul sebagai efek kehidupan manusia. Misalnya, kebutuhan dasar manusia akan sandang, pangan dan papan. Demikian pula munculnya kebutuhan informasi manusia. Dalam kehidupan pribadi, kebutuhan informasi biasanya berkaitan dengan suatu masalah yang harus diselesaikan. Contohnya dalam kehidupan bersekolah, siswa membutuhkan informasi saat ia harus menyelesaikan tugas karya tulisnya ataupun tugas akhir. Seorang dosen membutuhkan informasi untuk melengkapi bahan ajar yang akan disampaikan kepada para mahasiswanya. Jadi, kebutuhan disini menandai bahwa ia tidak akan bisa lepas dari manusia selama ia menjalani kehidupannya. Bukan karena ia menginginkan kebutuhan itu, namun lebih karena kebutuhan itu muncul dengan sendirinya secara terus menerus. Kebutuhan ini lebih berkaitan dengan adanya unsur pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari, baik itu dalam kehidupan pribadi maupu dalam kehidupan formal di dunia pendidikan dan pekerjaan.
2. ACCESS/ Akses informasi
Langkah selanjutnya saat seseorang menyadari bahwa ia membutuhkan informasi adalah to access, kata kerja yang menunjukkan kegiatan aktif seseorang untuk mengakses informasi. Akses informasi dilakukan saat seseorang memutuskan kemana ia harus pergi dalam usaha memenuhi kebutuhan informasinya tadi. Akses informasi terjadi saat ia membuka laptopnya dan membuka file ‘perpustakaan digital’nya, atau saat ia ke rak buku koleksi pribadi atau saat ia ke perpustakaan. Akses adalah kegiatan aktif manusia memasuki sumber informasi yang diperlukan.
3. LOCATE/ Penelusuran
Proses kegiatan aktif selanjutnya saat ia sudah berada di sumber informasi adalah menemukan informasi yang diperlukannya. Misalnya, saat ia berada di sebuah perpustakaan, maka ia akan secara aktif menelusur untuk menemukan informasi yang sesuai kebutuhannya. Katalog perpustakaan akan menunjukkan padanya beragam media yang memiliki informasi yang diperlukan. Bisa saja ia menemukan sebuah film, lima buah buku serta tiga jurnal yang mempunyai informasi yang terkait dengan masalah yang ingin ia pecahkan. Dari sini ia akan masuk dalam tahap penyelarasan (Synthesize)
4. SYNTHESIZE/Penyelarasan
Proses sintesis atau menyelaraskan informasi yang diperoleh dari beragam media tadi merupakan tahapan penting dalam seseorang memecahkan permasalahannya. Pemikiran kritis sangat diperlukan dalam tahap ini. Ia perlu mengkritisi apakah semua informasi yang diperolehnya itu ia perlukan. Lebih jauh lagi, pemikiran kritis diperlukan saat ia membangun sebuah pengetahuan baru dari proses perolehan informasi yang diperlukannya itu.
5. CREATE/Penciptaan
Tahap penciptaan adalah tahap menemukan jawaban atas masalah yang dipecahkan tadi. Bentuk penciptaan sendiri bisa beragam tergantung pada kebutuhan seseorang. Pada pendidikan formal, kebanyakan penciptaan terjadi dalam bentuk karya tulis. Dalam bagan MIL di atas, penciptaan yang dibagikan atau disuarakan ke masyarakat umum merupakan bentuk kontribusi aktif warga dalam mewujudkan demokrasi dan good governance.
6. EVALUATE/Pengevaluasian
Tahap akhir dari siklus ini adalah evaluasi. Evaluasi yang dilakukan mencakup dua aspek, yaitu aspek proses perolehan jawaban atas masalah yang ditemui, sejak tahap NEED hingga CREATE serta evaluasi isi, yaitu evaluasi terhadap hasil atau jawaban itu sendiri. Mengapa evaluasi ini penting dan harus ada? Jawabannya adalah karena siklus literasi informasi ini akan terus berputar dan jawaban atas permasalahan yang dipecahkan akan tersimpan dan membentuk pengetahuan baru seseorang. Evaluasi memungkinkan perbaikan dari ‘kesalahan’ proses maupun penyempurnaan jawaban, dan disinilah letak proses pembelajaran seseorang. Proses pembelajaran ini akan terus berlangsung karena manusia akan terus mempunyai kebutuhan informasi dalam kehidupannya.
Mengapa Literasi Informasi itu penting?
Pada saat kampanye literasi informasi yan digulirkan oleh APISI sejak tahun 2006, ada beberapa tanggapan yang mengatakan bahwa sebenarnya konsep ini bukan konsep yang baru namun tidak disadari oleh para pendidik di sekolah. Tanggapan ini seolah menunjukkan bahwa literasi informasi ini tidak harus ‘sebegitunya’ diterapkan atau dikembangkan. Pada kenyataannya, dari beberapa observasi dan penelitian yang dilakukan oleh APISI, ditemukan bahwa literasi informasi belum diterapkan secara konsisten dan sistematis. Hasil dari International Workshop on Information Literacy yang diadakan APISI tahun 2008 mengungkapan betapa besarnya beban materi yang harus dituntaskan oleh guru dalam suatu periode kegiatan belajar mengajar. Hal ini berdampak pada ketergesaan para guru untuk menyampaikan materi yang harus disampaikan dengan cara ‘menyuapi’ para siswanya dengan mencatat dan menghafal pelajarannya. Tentu saja hal ini jauh dari situasi ideal penerapan literasi informasi yang menempatkan siswa sebagai pemecah masalah dengan menggunakan sumber-sumber informasi.
Kurikulum sekolah nasional bertujuan untuk menjadikan para siswanya menjadi pembelajar seumur hidup. Jika pola pengajaran di sekolah masih seperti sistem talk and chalk, maka tujuan ini hanya akan menjadi isapan jempol belaka. Itulah sebanya, kesadaran akan penerapan literasi informasi secara sistematis dan terpadu pada kurikulum akan membantu para siswa menjadi pembelajar seumur hidup.
Kefasihan generasi muda dalam menggunakan peralatan informasi dan komunikasi seperti komputer, telepon genggam, Blackberry yang mempunyai koneksi internet yang kemudian memudahkan akses beragam informasi dari peralatan tersebut telah menciptakan sebuah fenomena baru dalam gaya hidup anak-anak muda saat ini. Godwin (2008:5) menyebut generasi ini sebagai “generasi web” atau “generasi Google”. Berbeda dengan generasi sebelumnya, misalnya generasi yang bergantung secara manual dalam pengoperasian benda-benda elektronik, generasi Google ini begitu fasih dalam menggunakan teknologi informasi terpasang (online). Mereka akan dengan segera mengoperasikan perangkat tersebut dan mencari tahu fungsi-fungsi apa dari peralatan itu yang dapat dimanfaatkan.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan secara khusus berkaitan dengan kecenderungan kefasihan mereka dalam berteknologi. Ketika memanfaatkan internet, setiap orang dapat dengan mudah mengunggah beragam informasi di dalamnya. Mereka bisa bebas mengekspresikan ide-ide atau karya-karyanya di dunia maya tersebut. Setelah informasi tadi diunggah, tidak ada pihak manapun yang secara khusus bertugas untuk melakukan koreksi atau filterasi terhadap informasi tersebut.
Situasi inilah yang semestinya diwaspadai oleh para orang tua atau guru, karena menurut Godwin (2008), generasi Google menganggap apa yang tertulis dan tercantum di web pasti benar serta penelusuran tunggal seperti Amazon dan Google dapat memberikan kepuasan instan (p.6)
Perilaku perolehan informasi yang sudah ditemukan juga layak menjadi perhatian. Generasi Google ini, menurut Godwin, tidak mempedulikan etika dalam penggunaan isi dari sumber-sumber itu karena mereka tidak paham atau tidak perduli (Godwin, 2008;6). Mereka menganggap penggunaan informasi yang dibutuhkan dengan menerapkan perilaku cut and paste merupakan hal yang biasa dan tidak menyadari bahwa informasi yang diperoleh ini perlu dibaca ulang dan diolah sebelum akhirnya digunakan.
Perilaku generasi Google yang digambarkan oleh Godwin tersebut perlu mendapat perhatian orang tua di rumah dan para guru di sekolah dalam kegiatan pembelajaran mereka. Sikap menghargai hasil karya orang lain dan kejujuran dalam menggunakan informasi yang diperoleh patut ditanamkan sedini mungkin.
Keterampilan menemukan, mengevaluasi serta menggunakan informasi secara etis adalah salah satu dari serangkaian keterampilan literasi informasi. Pengajaran keterampilan literasi informasi secara utuh menjadi penting untuk mengakomodasi perilaku generasi Google sebagaimana digambarkan sebelumnya.
Setelah melihat bagaimana pengaruh teknologi pada siswa hingga mereka membutuhkan keterampilan literasi informasi, Farmer & Henri (2008) mengungkapkan pula bagaimana literasi informasi memberikan pengaruh pada kegiatan membaca siswa. Selain dapat meningkatkan reading comprehension para siswa, literasi informasi yang diintegrasikan dan dirancang secara kolaboratif dalam kegiatan akademisi akan meningkatkan kemampuan pembelajaran dan produk penelitian mereka. Lebih dari itu, para siswa yang diajarkan keterampilan literasi informasi di sekolah menengah lebih sukses di pendidikan tingginya daripada siswa yang tidak mendapatkan pelajaran literasi itu sebelumnya (Farmer & Henri, 2008, p.16)
Dengan demikian, keterampilan literasi informasi yang melekat pada para siswa selain akan membawa kesuksesan dalam pendidikan formalnya, akan membekali mereka juga dengan sendirinya ketika mereka menjadi anggota masyarakat. Mereka menggunakan informasi dari beragam sumber untuk memecahkan masalah yang dihadapinya serta membuat keputusan. Akhirnya, dengan keterampilan literasi informasi yang melekat dalam kehidupan mereka, terbentuklah sebuah sikap yang dapat menjadi kebiasaan positif yang menjadikan mereka pembelajar seumur hidup.
LISA (Literasi Informasi Santa Angela) – Model dan Pola Penerapan Literasi Informasi Sekolah
Idealnya, penerapan literasi informasi terintegrasi dalam kegiatan belajar mengajar sekolah. Perpustakaan sekolah menyelenggarakan kegiatan penunjang keterampilan literasi informasi bagi para siswa. Keterampilan ini kemudian diterapkan para siswa saat mereka mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh para guru bidang mata pelajaran yang diajarkan.
Salah satu sekolah menegah di Bandung yang terakreditasi ‘A’ dari Perpustakaan Nasional RI tahun 2010 mempunyai program tahunan perpustakaan untuk para siswa kelas 7 hingga 9. Materi yang dikembangkan juga disesuaikan dengan tingkat kematangan siswa.
Kegiatan perpustakaan yang direncanakan dan diterapkan oleh perpustakaan selama setahun adalah:
1). library skills;
2). membaca bebas
3). Membuat sinopsi buku
4). Membuat synopsis majalah
5). Menonton film
Para siswa kemudian mengunakan keterampilan yang diasah dalam kegiatan program perpustakaan dalam beberapa mata pelajaran yaitu; Bahasa Inggris; Bahasa Indonesia; Biologi; Sejarah dan Olah raga. Guru mata pelajaran tersebut memberi tugas kepada para siswa untuk dikerjakan dengan menggunakan sumber-sumber informasi yang tersedia di perpustakaan sekolah mereka.
Perilaku para siswa saat ke perpustakaan setelah mereka menerima tugas yang harus dikerjakan adalah mereka menggunakan internet selain dari buku-buku dan sumber informasi lainnya. Dari internet maupun buku, mereka mencari informasi yang diperlukan, mencatatnya dan selesailah tugas mereka. Model program perpustakaan dan kegiatan belajar mengajar ini digambarkan pada gambar dibawah ini.
Jika disandingkan dengan siklus Literasi Informasi oleh Latuputty dan Mulkan, maka ada proses para siswa saat menyelesaikan informasi adalah seperti yang digambarkan di bawah ini:
1.Need à Tugas yang diberikan oleh guru
2. Locate à Pencarian informasi yang dilakukan secara terpadu baik itu internet, buku, majalah maupun film. Hal ini tidak terbatas pada informasi yang tersedia di perpustakaan, melainkan para siswa dapat mencari di berbagai sumber-sumber informasi lainnya
3. Access à Pengumpulan informasi yang dibutuhkan dari beragam sumber
4. Synthesis à Penyelarasan informasi untuk membentuk sebuah jawaban atau gambaran dari tugas yang diberikan
5. Create à Pemanfaatan informasi, saat siswa menuangkan temuannya dalam bentuk yang diinginkan, misalnya essay, jawab atas pertanyaan soal maupun bentuk hasil karya/prakarya
6. Evaluate à Pengevaluasian hasil, yang biasanya dalam bentuk nilai. Aspek evaluasi yang jarang atau belum umum dilakukan adalah evaluasi proses perolehan jawaban atas tugas yang diberikan.
Bagi perpustakaan sendiri, topik pembelajaran yang dapat diberikan untuk menyempurnakan keterampilan siswa adalah dengan memberi sesi tentang cara penelusuran informasi di internet, mengingat akses internet adalah kegiatan favorit para siswa dalam mencari informasi. Dengan demikian, model LISA ini menjadi Pola LISA sebagaimana tergambar dibawah ini:
Dari Pola LISA yang tergambar diatas, dapat dilihat bagaimana program literasi informasi yang dirancang perpustakaan sekolah dapat menjadi elemen-elemen penting dalam kegiatan pembelajaran para siswa di beragam mata pelajaran di sekolah.
Tantangan dan Strategi Penerapan Literasi Informasi di Sekolah
Penerapan literasi informasi seperti yang tertera pada Pola LISA di atas, tidak serta merta dapat diterapkan begitu saja ditiap sekolah yang berbeda. Penerapan informasi sangat bersifat kontekstual, sesuai dengan bagaimana badan induk, perpustakaan dan kegiatan belajar mengajar itu dapat disinergikan.
Tantangan penerapan ini berasal dari luar dan dalam lingkup perpustakaan. Tantangan dari luar adalah bagaimana cara pandang para pemangku jabatan di sekolah terhadap pustakawan dan perpustakaan sekolah. Semakin positif mereka memandang peran pustakawan sekolah dan perpustakaan dalam menunjang kegiatan belajar mengajar, semakin bergerak bebas program perpustakaan dapat diterapkan. Sebaliknya, jika mereka masih menempatkan staf bermasalah untuk menjadi tenaga perpustakaan maka pincanglah pendidikan menyeluruh sekolah itu. Dukungan akan terasa kurang dan perkembangan fisim mapun program juga akan lambat.
Tantangan dari dalam adalah dari pustakawan itu sendiri. Penting bagi pustakawan untuk melihat bahwa profesi mereka penting. Peran mereka dalam mengembangkan perpustakaan hendaknya tidak dilandaskan pada cara pandang orang melihat profesi ini, melainkan, kesadaran profesi mereka lah yang seharusnya dapat ‘melabel’ bahwa profesi ini penting hingga mereka dapat percaya diri melakukan dukungan-dukungan yang membawa dampak positif dalam kegiatan pembelajaran di sekolah. Keterampilan berkomunikasi, melobi dan sifat percaya diri juga merupakan tantangan pustakawan sekolah untuk maju. Pendit et. al (2013) dalam papernya di Bali mengungkapkan bahwa sejauh ini belum ada kesepakatan dan pemahaman dari pustakawan dan praktisi sekolah tentang bagaimana seharusnya model diambil dan diterapkan. Selain itu juga belum ada standard literasi informasi yang dikembangkan untuk penerapan di Indonesia. Peran pustakawan dan guru pustakawan juga masih dalam taraf perkembangan uang membutuhkan pengembangan kolaborasi yang terus menerus dengan dukungan dari pihak manajemen sekolah tentunya.
Strategi penerapan dalam Pola LISA diatas adalah dengan mengembangkan program berkelanjutan serta memberi kesadaran pada pihak sekolah bahwa apa yang mereka kerjakan merupakan bagian dari kegiatan pembelajaran siswa yang justru akan menjadikan hasil belajar mereka menjadi lebih baik. Langkah – langkah pengembangan program perlu di rencanakan mulai dari titik di mana keberadaan perpustakaan itu ada, berjejaring untuk saling tukar informasi serta pro aktif dalam menunjukkan peran perpustakaan dalam institusi induknya.
Penutup
Penerapan literasi informasi dalam pendidikan di Indonesia masih merupakan jalan panjang dan berliku. Kesiapan saran, prasarana dan sumber daya (pustakawan sekolah) perpustakaan masih merupakan dua hal yang belum rata dan menyeluruh pada sistem pendidikan di Indonesia. Hal penting lain yang tidak boleh dilewati adalah kecintaan membaca para siswa yang masih perlu terus menerus ditanamkan serta dikembangkan. Pustakawan juga penting menyikapi perkembangan teknologi informasi yang mempengaruhi ketersediaan informasi dalam beragam media hendaknya juga menjadi sebuah kesempatan bagaimana perpustakan mempunyai peran lebih dari sekadar menyimpan dan menyediakan informasi. Mutu pendidikan sebuah sekolah seharusnya terlihat dari perpustakaan dan pustakawannya.
Cite this article (APA):
George, Hanna Chaterina (2013, Desember 14). Cerdas di Era Informasi: Penerapan Literasi Informasi di Sekolah untuk Menciptakan Pembelajar Seumur Hidup. Paper dipresentasikan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa PSTP (Program Studi Teknisi Perpustakaan) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga. Surabaya.
References
Informasi, jika ditelaah dari arti katanya, dalam Ensiklopedi Kebahasaan Indonesia (2009) mencatat bahwa informasi merupakan suatu garis-besar, gagasan dari informare/informatum bermakna memberi suatu bentuk pada, menguraikan (p.532). Selain itu disebutkan pula bahwa dalam penggunaan umum, semacam pengetahuan yang diperoleh lewat pengalaman langsung, melalui studi, melalui pertanyaan-pertanyaan atau melalui pengonsultasian suatu sumber informasi, seperti buku, jadwal atau teleteks (p.533)
Istilah literasi informasi digunakan dalam dokumen UNESCO yang mendaftar beragam sumber-sumber tentang literasi informasi dari berbagai negara.
Istilah literasi informasi diperkenalkan pertama kali oleh Paul G.Zurkowski pada tahun 1974. Zurkowski (Presiden Information Industry Association) mengusulkan bahwa prioritas utama dari program nasional US National Commission on Libraries and Information Science adalah membangun sebuah program utama untuk mencapai literasi informasi universal di tahun 1984 (Zurkowski, 1974). Usulan ini dengan latar belakang bahwa informasi yang tersedia sangat begitu banyanknya hingga individu dapat mengalami kesulitan utuk mengevaluasinya. Dengan menyadari bawah kemampuan pencarian informasi tiap individu berbeda dari segi waktu dan serta beragamnya ketersediaan informasi, maka ada celah bagi individu untuk tidak dapat menggunakan informasi dengan pemahaman yang baik dan maksimal. Lebih lanjut Zurkowski berpendapat bahwa orang yang terlatih dalam menerapkan sumber-sumber informasi dalam pekerjaan mereka, dapat dikatakan information literate (p.6)
Definisi literasi informasi juga banyak bermunculan. Dalam tulisannya, George (2013) mengungkapkan bahwa:
literasi informasi mencakup seperangkat keterampilan untuk memecahkan masalah ataupun untuk membuat keputusan, baik untuk kepentingan akademisi ataupun pribadi, melalui proses pencarian, penemuan dan pemanfaatan informasi dari beragam sumber serta mengkomunikasikan pengetahuan baru ini dengan efisien, efektif dan beretika (p. 10-11).
Pemahaman dan implemetasi literasi informasi berawal dari kegiatan membaca di perpustakaan. Pada awalnya, anak-anak diajar untuk bisa membaca. Mulailah mereka diperkenalkan dengan deretan abjad A hingga Z. Pelajaran ini diberikan kepada para siswa sekolah dasar. Bahkan saat ini, guru-guru di Taman Kanak-kanak sebagian besar juga sudah mengajari para siswa kecilnya untuk membaca. Mereka belajar mengenal huruf, diikuti dengan mengkombinasi huruf hingga akhirnya mereka bisa membaca suku kata menjadi kata serta mengetahui artinya. Kata demi kata terangkai hingga membentuk sebuah makna kalimat, kemudian makna paragraph hingga akhirnya makna pokok-pokok pikiran dalam sebuah cerita.
Ketika anak-anak ini sudah pandai membaca, maka mereka didorong untuk bisa terus mengembangkan kebiasaan membaca mereka. Pada proses inilah, mereka memperlancar keterampilan membaca mereka. Secara tidak langsung mereka juga menyerap makna bacaan yang mereka baca. Mulailah, koleksi buku-buku dimanfaatkan dan perpustakaan sekolah berperan. Lama kelamaan, kegiatan membaca semakin melatih para siswa untuk belajar menangkap ide dan gagasan dari apa yang mereka baca. Pada proses ini juga, kecintaan para siswa pada kegiatan membaca dapat ditumbuhkan. Proses ini menjadi penting, karena kecintaan pada membaca pada usia dini, akan menolong mereka untuk mempelajari literasi informasi, literasi media dan lainnya. Literasi ini menjadi kunci untuk kesuksesan mereka di tahapan pembelajaran selanjutnya.
Perpustakaan sekolah menyediakan sumber-sumber bacaan bagi para siswa. Mereka dapat memilih bacaan yang mereka suka. Di sisi lain, perpustakaan juga sedapat mungkin dapat memenuhi kebutuhan membaca para siswa sesuai dengan tingkat usia mereka. Inilah konsep mula-mula keberadaan perpustakaan. Citra perpustakaan sebagai tempat menyimpan buku-buku sangat melekat dalam benak masyarakat hingga saat ini. Sejalan dengan perkembangannya, koleksi perpustakaan berkembang bukan saja dari segi jumlah buku namun juga kebervariasian jenis bacaan. Mari kita lihat bagaimana keberadaan perpustakaan mula-mula seperti ini kemudian berubah seiring dengan pergeseran peran pustakawannya dan berkembangnya teknologi informasi.
Berangkat dari urusan ‘dapur’ perpustakaan yang melahirkan spesifikasi kerja perpustakaan menjadi tiga posisi yaitu seperti yang diungkap oleh Shera (1972 dalam Ray, 2001:30) dengan sebutan Tripartite Role yaitu posisi 1) bibliographer – orang yang bertugas memilih buku dan bahan-bahan lainnya untuk penambahan koleksi perpustakaan; 2) reference librarians – orang yang memberikan informasi yang diperlukan oleh pengguna perpustakaan dan 3) cataloging librarians – orang yang membuat kartu katalog atau kartu elektronik dan memastikan bahwa koleksinya sesuai penempatannya. Ketiga peran ini terlihat kaku dan berjarak dengan pemakainya. Jelas sekali relasi antara pustakawan dengan pemakainya hanya terjadi pada peran pustakawan referensi. Meskipun bentuk komunikasi tidak langsung juga terjadi melalui katalog perpustakaan. Harapan pustakawan adalah pemustaka dapat menemukan buku yang dicarinya melalui katalog yang dibuat. Namun cara inipun belum maksimal, karena pemakai perlu mengetahui bagaimana cara menggunakan katalog perpustakaan. Berkembanglah inisiatif untuk mengadakan program pengenalan perpustakaan atau library instruction.
Branch dan Gilchrist (dalam Andretta, 2005:6) menyebutkan pada tahun 1970an Association of Colleges and Research Libraries (ACRL) mendefinisikan library instruction sebagai pemberian tuntunan bagi individu maupun kelompok dalam menggunakan bahan-bahan dan sumber-sumber serta dalam menginterpretasikan alat-alat pembelajaran Namun demikian, menurut Branch dan Gilchrist cakupan pendidikan pemakai ini sebatas pengenalan bahan-bahan pustaka dan interpretasi alat-alat pembelajaran dan bukan kepada perolehan atau pemilihan informasi dalam rangka pembelajaran. Lebih lanjut, Mellon (1988 dalam Andretta, 2005:6-7) mengemukakan argumentasinya bahwa permasalahan dalam penerapan pendidikan pemakai tradisional adalah fokus dari kegiatan ini lebih pada kegiatan perpustakaan yang mencakup pemanfaatan sarana informasi dan bukan kepada tugas-tugas yang lebih kompleks dalam penelurusan informasi berdasarkan pemikiran kritis dan keterampilan evaluatif. Cakupan ini gagal dalam mendorong para siswa untuk menjadi pembelajar seumur hidup. Dengan berkembangnya teknologi pada tahun 1990an, ACRL kemudian mengubah definisi library instruction ini menjadi program yang memberikan instruksi bibliografi melalui beragam teknik yang memungkinkan mereka menjadi information literate (Mellon 1988 dalam Andretta, 2005:7).
Model – model Literasi Informasi
Sejak diperkenalkan tahun 1974, model literasi informasi kemudian berkembang. Perkembangan ini menunjukkan keragaman pendekatan terhadap pemahaman IL di beberapa negara maju. Kebanyakan model literasi informasi yang berkembang adalah untuk aplikasi bagi siswa di sekolah. Hal ini berbeda dengan yang disebut Zurkowski dalam cakupannya pada konteks pekerja. Hal ini menunjukkan kesadaran bahwa para siswa perlu diberikan keterampilan untuk memecahkan masalahnya dengan sistematis sejak dini, agar mereka siap menjadi pekerja yang information literate di dunia kerja mereka nanti.
Pada kesempatan ini, penulis mengambil dua model dari kira-kira lima belas model pembahasan Wools, Blanche tahun 2006 di Malaysia saat kegiatan pelatihan literasi informasi yang dihadiri oleh penulis. Pembahasan dibawah ini akan mencakup lima model yang masing-masingnya akan diuraikan dengan keunikan masing-masing. Kelima model itu adalah:
1. British Model (Wools, 2006) adalah sebuah model yang pertama dikembangkan pada tahun 1981 oleh Michael Marland dalam bukunya Information Skills in the Secondary Curriculum (Wools,2006:1). Model ini adalah yang pertama kali muncul setelah pertama kali dicetuskan konsepnya pada tahun 1974. Tepat tiga tahun dari target yang ditetapkan Zurkowski dalam usulannya untuk mencapai literasi informasi universal di Amerika. Model ini diterapkan di sekolah dan disebut dengan keterampilan informasi. British Model mempunyai sembilan langkah untuk memecahkan masalah yaitu:
(1) Memformulasikan dan menganalisa kebutuhan
(2)Mengidentifikasi dan memeriksa sumber-sumber informasi
(3) Menelusur dan menemukan sumber-sumber individu
(4) Menguji, memilih sumber-sumber informasi
(5) Mengintegrasikan sumber-sumber informasi tersebut
(6) Menyimpan dan mensortir informasi
(7)Menginterpretasikan, menganalisa, mensintesiskan dan mengevaluasi informasi
(8) Mempresentasikan atau mengkomunikasikan informasi dan
(9) Mengevaluasi.
2) Big 6™ (Wools, 2006)
Big 6™ adalah sebuah model literasi informasi yang dikembangkan oleh Michael B.Eisenberg and Robert E. Berkowitz di Amerika Serikat pada tahun 1988. Model ini sangat populer bukan saja di Amerika Serikat melainkan juga negara-negara lain yang sudah menyadari pentingnya penerapan literasi informasi dalam proses belajar mengajar di sekolahnya. Eisenberg dan Berkowitz juga secara aktif dan berkelanjutan melakukan promosi dengan mengeluarkan terbitan-terbitan yang bermanfaat bagi pemakainya. Di Indonesia sendiri, model ini juga popular digunakan di banyak sekolah maju dalam kegiatan program literasi informasi mereka. Bahan-bahan tentang model ini juga sangat mudah diperoleh di internet dibandingkan model-model lainnya. Itu sebabnya, pengguna model ini dapat dengan mudah memperoleh hal-hal baru yang dikembangkan oleh Eisenberg dan Berkowitz melalui internet. Dengan demikian, penggunaannya juga semakin memasyarakat. Apalagi, pengembang model ini juga menciptakan model sederhana bagi para siswa di sekolah dasar untuk memudahkan mereka dalam mengembangkan keterampilan literasi inforami sejak dini. Model ini disebut dengan Super3 yaitu Plan, Do dan Review. Sejauh ini, hanya model ini yang dikembangkan secara khusus untuk anak-anak di sekolah dasar.
Enam langkah dalam model Big 6™ adalah:
(1) Penentuan tugas atau masalah
(2) Strategi pencarian informasi
(3) Pencarian sumber informasi yang diperlukan
(4) Pemanfaatan informasi yang sudah diperoleh
(5) Pengintegrasian informasi yang diperoleh dari sumber-sembert tersebut
(6) Pengevaluasian terhadap hasil informasi yang diperoleh dan proses pemecahan masalahnya.
3) Empowering 8 (Wijetunge & Alahakoon, 2005:14)
Pada tahun 2004, sebuah modul yang dirancang khusus untuk kepentingan orang-orang Asia dirumuskan dalam sebuah pertemuan International Workshop on Information Skills for Learning yang diorganisasi oleh IFLA/ALP dan NILIS di University of Colombo, Sri Lanka. Model yang dihasilkan oleh peserta dari negara-negara Asia ini disebut dengan Empowering 8 dan dipercaya sebagai model yang cocok penerapannya di negara-negara Asia. Ke delapan langkah tersebut adalah:
(1) Mengidentifikasi masalah
(2) Mengeksplorasi sumber informasi
(3) Memilih sumber informasi
(4) Menyusun informasi yang diperoleh
(5) Menciptakan sebuah pengetahuan baru dari informasi yang terkumpul sebagai jawaban dari masalah
(6) Mempresentasikan pengetahuan baru yang sudah tercipta
(7) Memberi penilaian terhadap pengetahuan baru tersebut
(8) Mengaplikasikan pengetahuan baru tersebut.
4) Tujuh Langkah Knowledge Management (Diao Ai Lien et.al, 2007)
Di Indonesia, lahir sebuah model baru yang disebut dengan Tujuh Langkah Knowledge Management yang dikembangkan oleh Diao Ai Lien dan kawan-kawan dari Universitas Atmajaya, Jakarta pada tahun 2007. Model ini merupakan gabungan antara Big 6™ dan Empowering 8 yaitu dengan menambahkan kemampuan ke-8 dari Empowering 8 ke dalam Big 6™ (Diao Ai Lien et.al, 2007:6). Model ini dikembangkan untuk membantu para mahasiswa dalam menyelesaikan tugas penelitian mereka di kampus. Dengan target pengguna yang spesifik ini maka pada langkah Menciptakan kegiatan yang secara jelas dilakukan adalah menulis, yaitu menulis hasil karya penelitian maupun skripsi mereka.
Tujuh langkah dalam model ini adalah:
(1). Merumuskan masalah
(2). Mengidentifikasi dan mengakses informasi
(3). Mengevaluasi sumber informasi dan informasi
(4). Menggunakan informasi
(5). Menciptakan karya
(6). Mengevaluasi karya
(7). Menarik pelajaran
5. Skema dan Aplikasi Media and information Literacy oleh Hanna Latuputty dan Dede Mulkan (2012)
UNESCO masuk ke Indonesia dengan konsep yang lebih luas dari information literacy yaitu Media and Information Literacy (MIL). Sebuah workshop diadakan di Depok untuk membahas sebuah dokumen terbitan UNESO tahun 2011 yang berjudul Media and Information Literacy Curriculum for Teachers. Dokumen ini menjelaskan dan menguraikan topik media dan informasi secara gamblang, namun kurang dapat dipahami dimana letak masing-masingnya secara jelas. Pertanyaan ini muncul karena dari dokumen yang dibuat, hanya satu bab membahas tentang literasi informasi dan kurang terlihatnya pemahaman yang menyeluruh tentang dua konsep ini.
Dari sudut pandang kepustakawanan yang memasukkan media ke dalam cakupan literasi informasi, Latuputty dan Mulkan berusaha membuat sebuah skema yang menjelaskan dimana letak posisi media literacy dan information literacy dalam konteks Democracy and Good Governance yang diusung oleh UNESCO.
Gambar 1.
Skema Aplikasi dan Konsep Media and Information Literacy oleh Hanna Latuputty dan Dede Mulkan, 2012
Dari, skema ini, maka tahapan literasi informasi dapat digambarkan ke dalam sebuah siklus yang terdiri dari enam langkah, yaitu:
1. NEED/ Kebutuhan Informasi
Kebutuhan dalam langkah awal ini merupakan sebuah kata benda dan bukan kata kerja, karena kebutuhan merupakan bagian dalam kehidupan manusia yang muncul bukan karena suatu pekerjaan yang sengaja dilakukan atau diadakan oleh manusia. Hal ini berdampak pada kemunculannya yang tidak tergantung pada suatu usaha, namun suatu keadaan yang muncul sebagai efek kehidupan manusia. Misalnya, kebutuhan dasar manusia akan sandang, pangan dan papan. Demikian pula munculnya kebutuhan informasi manusia. Dalam kehidupan pribadi, kebutuhan informasi biasanya berkaitan dengan suatu masalah yang harus diselesaikan. Contohnya dalam kehidupan bersekolah, siswa membutuhkan informasi saat ia harus menyelesaikan tugas karya tulisnya ataupun tugas akhir. Seorang dosen membutuhkan informasi untuk melengkapi bahan ajar yang akan disampaikan kepada para mahasiswanya. Jadi, kebutuhan disini menandai bahwa ia tidak akan bisa lepas dari manusia selama ia menjalani kehidupannya. Bukan karena ia menginginkan kebutuhan itu, namun lebih karena kebutuhan itu muncul dengan sendirinya secara terus menerus. Kebutuhan ini lebih berkaitan dengan adanya unsur pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari, baik itu dalam kehidupan pribadi maupu dalam kehidupan formal di dunia pendidikan dan pekerjaan.
2. ACCESS/ Akses informasi
Langkah selanjutnya saat seseorang menyadari bahwa ia membutuhkan informasi adalah to access, kata kerja yang menunjukkan kegiatan aktif seseorang untuk mengakses informasi. Akses informasi dilakukan saat seseorang memutuskan kemana ia harus pergi dalam usaha memenuhi kebutuhan informasinya tadi. Akses informasi terjadi saat ia membuka laptopnya dan membuka file ‘perpustakaan digital’nya, atau saat ia ke rak buku koleksi pribadi atau saat ia ke perpustakaan. Akses adalah kegiatan aktif manusia memasuki sumber informasi yang diperlukan.
3. LOCATE/ Penelusuran
Proses kegiatan aktif selanjutnya saat ia sudah berada di sumber informasi adalah menemukan informasi yang diperlukannya. Misalnya, saat ia berada di sebuah perpustakaan, maka ia akan secara aktif menelusur untuk menemukan informasi yang sesuai kebutuhannya. Katalog perpustakaan akan menunjukkan padanya beragam media yang memiliki informasi yang diperlukan. Bisa saja ia menemukan sebuah film, lima buah buku serta tiga jurnal yang mempunyai informasi yang terkait dengan masalah yang ingin ia pecahkan. Dari sini ia akan masuk dalam tahap penyelarasan (Synthesize)
4. SYNTHESIZE/Penyelarasan
Proses sintesis atau menyelaraskan informasi yang diperoleh dari beragam media tadi merupakan tahapan penting dalam seseorang memecahkan permasalahannya. Pemikiran kritis sangat diperlukan dalam tahap ini. Ia perlu mengkritisi apakah semua informasi yang diperolehnya itu ia perlukan. Lebih jauh lagi, pemikiran kritis diperlukan saat ia membangun sebuah pengetahuan baru dari proses perolehan informasi yang diperlukannya itu.
5. CREATE/Penciptaan
Tahap penciptaan adalah tahap menemukan jawaban atas masalah yang dipecahkan tadi. Bentuk penciptaan sendiri bisa beragam tergantung pada kebutuhan seseorang. Pada pendidikan formal, kebanyakan penciptaan terjadi dalam bentuk karya tulis. Dalam bagan MIL di atas, penciptaan yang dibagikan atau disuarakan ke masyarakat umum merupakan bentuk kontribusi aktif warga dalam mewujudkan demokrasi dan good governance.
6. EVALUATE/Pengevaluasian
Tahap akhir dari siklus ini adalah evaluasi. Evaluasi yang dilakukan mencakup dua aspek, yaitu aspek proses perolehan jawaban atas masalah yang ditemui, sejak tahap NEED hingga CREATE serta evaluasi isi, yaitu evaluasi terhadap hasil atau jawaban itu sendiri. Mengapa evaluasi ini penting dan harus ada? Jawabannya adalah karena siklus literasi informasi ini akan terus berputar dan jawaban atas permasalahan yang dipecahkan akan tersimpan dan membentuk pengetahuan baru seseorang. Evaluasi memungkinkan perbaikan dari ‘kesalahan’ proses maupun penyempurnaan jawaban, dan disinilah letak proses pembelajaran seseorang. Proses pembelajaran ini akan terus berlangsung karena manusia akan terus mempunyai kebutuhan informasi dalam kehidupannya.
Gambar 2.
Siklus Literasi Informasi oleh Hanna Latuputty dan Dede Mulkan, 2013
Mengapa Literasi Informasi itu penting?
Pada saat kampanye literasi informasi yan digulirkan oleh APISI sejak tahun 2006, ada beberapa tanggapan yang mengatakan bahwa sebenarnya konsep ini bukan konsep yang baru namun tidak disadari oleh para pendidik di sekolah. Tanggapan ini seolah menunjukkan bahwa literasi informasi ini tidak harus ‘sebegitunya’ diterapkan atau dikembangkan. Pada kenyataannya, dari beberapa observasi dan penelitian yang dilakukan oleh APISI, ditemukan bahwa literasi informasi belum diterapkan secara konsisten dan sistematis. Hasil dari International Workshop on Information Literacy yang diadakan APISI tahun 2008 mengungkapan betapa besarnya beban materi yang harus dituntaskan oleh guru dalam suatu periode kegiatan belajar mengajar. Hal ini berdampak pada ketergesaan para guru untuk menyampaikan materi yang harus disampaikan dengan cara ‘menyuapi’ para siswanya dengan mencatat dan menghafal pelajarannya. Tentu saja hal ini jauh dari situasi ideal penerapan literasi informasi yang menempatkan siswa sebagai pemecah masalah dengan menggunakan sumber-sumber informasi.
Kurikulum sekolah nasional bertujuan untuk menjadikan para siswanya menjadi pembelajar seumur hidup. Jika pola pengajaran di sekolah masih seperti sistem talk and chalk, maka tujuan ini hanya akan menjadi isapan jempol belaka. Itulah sebanya, kesadaran akan penerapan literasi informasi secara sistematis dan terpadu pada kurikulum akan membantu para siswa menjadi pembelajar seumur hidup.
Kefasihan generasi muda dalam menggunakan peralatan informasi dan komunikasi seperti komputer, telepon genggam, Blackberry yang mempunyai koneksi internet yang kemudian memudahkan akses beragam informasi dari peralatan tersebut telah menciptakan sebuah fenomena baru dalam gaya hidup anak-anak muda saat ini. Godwin (2008:5) menyebut generasi ini sebagai “generasi web” atau “generasi Google”. Berbeda dengan generasi sebelumnya, misalnya generasi yang bergantung secara manual dalam pengoperasian benda-benda elektronik, generasi Google ini begitu fasih dalam menggunakan teknologi informasi terpasang (online). Mereka akan dengan segera mengoperasikan perangkat tersebut dan mencari tahu fungsi-fungsi apa dari peralatan itu yang dapat dimanfaatkan.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan secara khusus berkaitan dengan kecenderungan kefasihan mereka dalam berteknologi. Ketika memanfaatkan internet, setiap orang dapat dengan mudah mengunggah beragam informasi di dalamnya. Mereka bisa bebas mengekspresikan ide-ide atau karya-karyanya di dunia maya tersebut. Setelah informasi tadi diunggah, tidak ada pihak manapun yang secara khusus bertugas untuk melakukan koreksi atau filterasi terhadap informasi tersebut.
Situasi inilah yang semestinya diwaspadai oleh para orang tua atau guru, karena menurut Godwin (2008), generasi Google menganggap apa yang tertulis dan tercantum di web pasti benar serta penelusuran tunggal seperti Amazon dan Google dapat memberikan kepuasan instan (p.6)
Perilaku perolehan informasi yang sudah ditemukan juga layak menjadi perhatian. Generasi Google ini, menurut Godwin, tidak mempedulikan etika dalam penggunaan isi dari sumber-sumber itu karena mereka tidak paham atau tidak perduli (Godwin, 2008;6). Mereka menganggap penggunaan informasi yang dibutuhkan dengan menerapkan perilaku cut and paste merupakan hal yang biasa dan tidak menyadari bahwa informasi yang diperoleh ini perlu dibaca ulang dan diolah sebelum akhirnya digunakan.
Perilaku generasi Google yang digambarkan oleh Godwin tersebut perlu mendapat perhatian orang tua di rumah dan para guru di sekolah dalam kegiatan pembelajaran mereka. Sikap menghargai hasil karya orang lain dan kejujuran dalam menggunakan informasi yang diperoleh patut ditanamkan sedini mungkin.
Keterampilan menemukan, mengevaluasi serta menggunakan informasi secara etis adalah salah satu dari serangkaian keterampilan literasi informasi. Pengajaran keterampilan literasi informasi secara utuh menjadi penting untuk mengakomodasi perilaku generasi Google sebagaimana digambarkan sebelumnya.
Setelah melihat bagaimana pengaruh teknologi pada siswa hingga mereka membutuhkan keterampilan literasi informasi, Farmer & Henri (2008) mengungkapkan pula bagaimana literasi informasi memberikan pengaruh pada kegiatan membaca siswa. Selain dapat meningkatkan reading comprehension para siswa, literasi informasi yang diintegrasikan dan dirancang secara kolaboratif dalam kegiatan akademisi akan meningkatkan kemampuan pembelajaran dan produk penelitian mereka. Lebih dari itu, para siswa yang diajarkan keterampilan literasi informasi di sekolah menengah lebih sukses di pendidikan tingginya daripada siswa yang tidak mendapatkan pelajaran literasi itu sebelumnya (Farmer & Henri, 2008, p.16)
Dengan demikian, keterampilan literasi informasi yang melekat pada para siswa selain akan membawa kesuksesan dalam pendidikan formalnya, akan membekali mereka juga dengan sendirinya ketika mereka menjadi anggota masyarakat. Mereka menggunakan informasi dari beragam sumber untuk memecahkan masalah yang dihadapinya serta membuat keputusan. Akhirnya, dengan keterampilan literasi informasi yang melekat dalam kehidupan mereka, terbentuklah sebuah sikap yang dapat menjadi kebiasaan positif yang menjadikan mereka pembelajar seumur hidup.
LISA (Literasi Informasi Santa Angela) – Model dan Pola Penerapan Literasi Informasi Sekolah
Idealnya, penerapan literasi informasi terintegrasi dalam kegiatan belajar mengajar sekolah. Perpustakaan sekolah menyelenggarakan kegiatan penunjang keterampilan literasi informasi bagi para siswa. Keterampilan ini kemudian diterapkan para siswa saat mereka mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh para guru bidang mata pelajaran yang diajarkan.
Salah satu sekolah menegah di Bandung yang terakreditasi ‘A’ dari Perpustakaan Nasional RI tahun 2010 mempunyai program tahunan perpustakaan untuk para siswa kelas 7 hingga 9. Materi yang dikembangkan juga disesuaikan dengan tingkat kematangan siswa.
Kegiatan perpustakaan yang direncanakan dan diterapkan oleh perpustakaan selama setahun adalah:
1). library skills;
2). membaca bebas
3). Membuat sinopsi buku
4). Membuat synopsis majalah
5). Menonton film
Para siswa kemudian mengunakan keterampilan yang diasah dalam kegiatan program perpustakaan dalam beberapa mata pelajaran yaitu; Bahasa Inggris; Bahasa Indonesia; Biologi; Sejarah dan Olah raga. Guru mata pelajaran tersebut memberi tugas kepada para siswa untuk dikerjakan dengan menggunakan sumber-sumber informasi yang tersedia di perpustakaan sekolah mereka.
Perilaku para siswa saat ke perpustakaan setelah mereka menerima tugas yang harus dikerjakan adalah mereka menggunakan internet selain dari buku-buku dan sumber informasi lainnya. Dari internet maupun buku, mereka mencari informasi yang diperlukan, mencatatnya dan selesailah tugas mereka. Model program perpustakaan dan kegiatan belajar mengajar ini digambarkan pada gambar dibawah ini.
Gambar 3.
Model LISA oleh Hanna C George, 2013
Jika disandingkan dengan siklus Literasi Informasi oleh Latuputty dan Mulkan, maka ada proses para siswa saat menyelesaikan informasi adalah seperti yang digambarkan di bawah ini:
1.Need à Tugas yang diberikan oleh guru
2. Locate à Pencarian informasi yang dilakukan secara terpadu baik itu internet, buku, majalah maupun film. Hal ini tidak terbatas pada informasi yang tersedia di perpustakaan, melainkan para siswa dapat mencari di berbagai sumber-sumber informasi lainnya
3. Access à Pengumpulan informasi yang dibutuhkan dari beragam sumber
4. Synthesis à Penyelarasan informasi untuk membentuk sebuah jawaban atau gambaran dari tugas yang diberikan
5. Create à Pemanfaatan informasi, saat siswa menuangkan temuannya dalam bentuk yang diinginkan, misalnya essay, jawab atas pertanyaan soal maupun bentuk hasil karya/prakarya
6. Evaluate à Pengevaluasian hasil, yang biasanya dalam bentuk nilai. Aspek evaluasi yang jarang atau belum umum dilakukan adalah evaluasi proses perolehan jawaban atas tugas yang diberikan.
Bagi perpustakaan sendiri, topik pembelajaran yang dapat diberikan untuk menyempurnakan keterampilan siswa adalah dengan memberi sesi tentang cara penelusuran informasi di internet, mengingat akses internet adalah kegiatan favorit para siswa dalam mencari informasi. Dengan demikian, model LISA ini menjadi Pola LISA sebagaimana tergambar dibawah ini:
Gambar 4.
Pola LISA oleh Hanna C George, 2013
Dari Pola LISA yang tergambar diatas, dapat dilihat bagaimana program literasi informasi yang dirancang perpustakaan sekolah dapat menjadi elemen-elemen penting dalam kegiatan pembelajaran para siswa di beragam mata pelajaran di sekolah.
Tantangan dan Strategi Penerapan Literasi Informasi di Sekolah
Penerapan literasi informasi seperti yang tertera pada Pola LISA di atas, tidak serta merta dapat diterapkan begitu saja ditiap sekolah yang berbeda. Penerapan informasi sangat bersifat kontekstual, sesuai dengan bagaimana badan induk, perpustakaan dan kegiatan belajar mengajar itu dapat disinergikan.
Tantangan penerapan ini berasal dari luar dan dalam lingkup perpustakaan. Tantangan dari luar adalah bagaimana cara pandang para pemangku jabatan di sekolah terhadap pustakawan dan perpustakaan sekolah. Semakin positif mereka memandang peran pustakawan sekolah dan perpustakaan dalam menunjang kegiatan belajar mengajar, semakin bergerak bebas program perpustakaan dapat diterapkan. Sebaliknya, jika mereka masih menempatkan staf bermasalah untuk menjadi tenaga perpustakaan maka pincanglah pendidikan menyeluruh sekolah itu. Dukungan akan terasa kurang dan perkembangan fisim mapun program juga akan lambat.
Tantangan dari dalam adalah dari pustakawan itu sendiri. Penting bagi pustakawan untuk melihat bahwa profesi mereka penting. Peran mereka dalam mengembangkan perpustakaan hendaknya tidak dilandaskan pada cara pandang orang melihat profesi ini, melainkan, kesadaran profesi mereka lah yang seharusnya dapat ‘melabel’ bahwa profesi ini penting hingga mereka dapat percaya diri melakukan dukungan-dukungan yang membawa dampak positif dalam kegiatan pembelajaran di sekolah. Keterampilan berkomunikasi, melobi dan sifat percaya diri juga merupakan tantangan pustakawan sekolah untuk maju. Pendit et. al (2013) dalam papernya di Bali mengungkapkan bahwa sejauh ini belum ada kesepakatan dan pemahaman dari pustakawan dan praktisi sekolah tentang bagaimana seharusnya model diambil dan diterapkan. Selain itu juga belum ada standard literasi informasi yang dikembangkan untuk penerapan di Indonesia. Peran pustakawan dan guru pustakawan juga masih dalam taraf perkembangan uang membutuhkan pengembangan kolaborasi yang terus menerus dengan dukungan dari pihak manajemen sekolah tentunya.
Strategi penerapan dalam Pola LISA diatas adalah dengan mengembangkan program berkelanjutan serta memberi kesadaran pada pihak sekolah bahwa apa yang mereka kerjakan merupakan bagian dari kegiatan pembelajaran siswa yang justru akan menjadikan hasil belajar mereka menjadi lebih baik. Langkah – langkah pengembangan program perlu di rencanakan mulai dari titik di mana keberadaan perpustakaan itu ada, berjejaring untuk saling tukar informasi serta pro aktif dalam menunjukkan peran perpustakaan dalam institusi induknya.
Penutup
Penerapan literasi informasi dalam pendidikan di Indonesia masih merupakan jalan panjang dan berliku. Kesiapan saran, prasarana dan sumber daya (pustakawan sekolah) perpustakaan masih merupakan dua hal yang belum rata dan menyeluruh pada sistem pendidikan di Indonesia. Hal penting lain yang tidak boleh dilewati adalah kecintaan membaca para siswa yang masih perlu terus menerus ditanamkan serta dikembangkan. Pustakawan juga penting menyikapi perkembangan teknologi informasi yang mempengaruhi ketersediaan informasi dalam beragam media hendaknya juga menjadi sebuah kesempatan bagaimana perpustakan mempunyai peran lebih dari sekadar menyimpan dan menyediakan informasi. Mutu pendidikan sebuah sekolah seharusnya terlihat dari perpustakaan dan pustakawannya.
Cite this article (APA):
George, Hanna Chaterina (2013, Desember 14). Cerdas di Era Informasi: Penerapan Literasi Informasi di Sekolah untuk Menciptakan Pembelajar Seumur Hidup. Paper dipresentasikan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa PSTP (Program Studi Teknisi Perpustakaan) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga. Surabaya.
References
Andretta, Susie.(2005). Information Literacy: a Practitioner’s Guide. Oxford:Chandos Publishing.
Asosiasi Pekerja Informasi Sekolah Indonesia & International Federation Library Association/ ALP. (2008). Aplikasi literasi informasi dalam kurikulum nasional (KTSP) : contoh penerapan untuk tingkat SD, SMP dan SMA: Hasil diskusi INDONESIAN Workshop on Information Literacy (INDONESIAN – WIL). Bogor: Author.
Council of Australian University Librarians. (2001). Information literacy standards(1st ed.). Canberra: Council of Australian University Librarians. Ditelusur dari http://www.caul.edu.au/content/upload/files/caul-doc/InfoLitStandards 2001.doc pada 31 Oktober 2011
Diao Ai Lien; Agustin Wydia Gunawan; Dora Aruan & Santi Kusuma. (2007). Tujuh Langkah Knowledge Management. Jakarta:Universitas Atmajaya.
Hasanuddin WS A. Chaedar Alwasilah (Eds).(2009). Ensiklopedi Kebahasaan Indonesia
(Jilid II F-K). Bandung: Penerbit Angkasa.
Farmer,Lesley S.Jand Henri, James. (2008). Information Literacy Assessment in K-12 Setting. Maryland: Scarecrow Press. pp. 13 - 23
George, Hanna Chaterina. (2013). Literasi Informasi Pperpustakaan Sekolah: Studi Kasus Penerapan Program Literasi Informasi di Perpustakaan Sekolah Santa Angela, Bandung. Bandung: Universitas Padjadjaran, pp.135 - 160
Godwin, Peter dan Jo Parker (Eds.).(2008). Information literacy meets Library 2.0. London : Facet Publishing.
Latuputty, Hanna, and Dede Mulkan. (2012, Mei 29-31). Developing a Media and Information Literacy Program: a MIL Program Guide for Teachers and Librarians on Elementary School in Indonesia. Paper disajikan pada The 15th Consal Meeting and General Conference. Ditelusur dari http://www.consalXv.org/uploaded_files/pdf/papers/normal/ID_HANNA_DEDE_MediaInformationLiteracy_fullpaper.pdf pada 10 Desember 2013
Laxman, Putu Pendit, Hanna C George & Lucya Dhamayanti (2013, Agustus). Information Literacy
in Indonesia : The View from the Field. Presentasi pada International Association of School Librarianship The 42nd Annual International Conference incorporating 17th International Forum on Research in School Librarianship. Unpublished.
Shera, Jesse H. 1972. The Foundations of Education for Librarianship. Dalam ,Ray, Michael.S. 2001.”Shifting Sands-The Jurisdiction of Librarians in Scholarly Communication’.ACRL
Tenth National Conference. Denver, Colorado. March 15-18. hlm 1-20 . Ditelusur dari
http://www.ala.org/acrl/sites/ala.org.acrl/files/content/conferences/pdf/mra y.pdf
pada 14 Augustus 2012
Wijetunge, P. and Alahakoon, U. (2005). Empowering 8 : the information literacy model developed in Sri Lanka to underpin changing education paradigms of Sri Lanka. Sri Lanka Journal of Librarianship & Information Management, volume 1 (1) pp.31-41. Ditelusur pada 2 September 2012 dari http://www.cmb.ac.lk/academic/institutes/nilis/reports/InformationLiteracy.pdf
Wilson, Carolyn; Grizzle, Alton; Tuazon, Ramon; Akyempong, Kwame; Cheung, Chi Kim.
(2011). Media and information literacy curriculum for teachers. Paris: UNESCO
Wools, Blanche. (2006, Juni 11). Development of Concept Models: an Outline for a Workshop at the International Workshop on Information Literacy [Powerpoint Slides]. Presentasi pada International Workshop on Information Literacy, Kuala Lumpur, Malaysia
Zurkowski, Paul G. (1974). The Information Service Environment Relationship and Priorities,
(Related Paper Number Five). National Program for Library and Information Services
Washington DC: U.S.National Commission on Libraries and Information Science.
Comments
jilbab syar'i murah