Asosiasi Perpustakaan Sekolah: Apakah kita benar-benar membutuhkannya?
Asosiasi Perpustakaan Sekolah:
Apakah kita benar-benar membutuhkannya?
- Sebelas Tahun APISI di Indonesia -
oleh Hanna Chaterina George
Saat memulai pekerjaan sebagai pustakawan sekolah
sekitar tahun 1994, saya tidak mengenal adanya sebuah asosiasi khusus until
perpustakaan sekolah. Saat itu, sudah ada sebuah asosiasi perpustakaan di
Indonesia, yaitu Ikatan Pustakawan Indonesia, namun saya tidak melihat adanya
kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan perpustakaan sekolah.
Pada kenyataannya, saya bahkan tidak menyadari bahwa saya
memerlukan sebuah asosiasi perpustakaan hingga
tahun 2005, saat tercetus ide untuk mengumpulkan beberapa rekan-rekan
pustakawan sekolah yang berlokasi di sekitar sekolah tempat saya bekerja di
daerah Tangerang Selatan. Disitulah cikal bakal lahirnya APISI, sebuah asosiasi
profesi yang menyebut dirinya school information profesional dan bukan
pustakawan sekolah.
Mengapa
Kita Berhimpun?
Pertemuan pertama pustakawan sekolah yang
diselenggarakan di British School Jakarta
(saat itu British International School) pada tahun 2006 bertujuan untuk
mengakomodasi keingintahuan pustakawan sekolah akan perkembangan dan then termini dalam kepustakawanan sekolah di Indonesia. Pada pertemuan pertama ini, ada 30 pustakawan sekolah hadir. Saat itu disadari bahwa ada kebutuhan akan jejaring diantara pustakawan sekolah. Hal ini dipercaya akan menolong tiap pustakawan sekolah dalam memecahkan masalah mereka dalam mengelola perpustakaan sekolahnya. Perlu menjadi catatan bahwa
kebanyakan mereka yang bekerja di perpustakaan sekoalah, tidak mempunyai latar
belakang pendidikan ilmu perpustakaan. Kebanyakan dari mereka berasal dari guru maupun tenaga tata usaha yang tidak mengerti pengelolaan perpustakaan. Itu sebabnya keinginan
untuk bertemu, sharing dan bertukar pikiran menjadi kebutuhan tersendiri.
Pertemuan saat itu mengundang pembicara yang dianggap
berkompeten, yaitu Diao Ai Lien, Ph.D dan Dra Titi Chandrawati, M.Ed yang
membawakan hasil penelitian mereka yang dibiaya oleh UNESCO yaitu "
Current State of Information Literacy Awareness and Practices in Indonesia
Primary and Secondary Public Schools: Jakarta". Tema literasi informasi
ini menjadi masukan kepada peserta bahwa peran perpustakaan sekolah saat ini
sudah berubah dan tema ini kemudian menjadi core subject yang dipromosikan
APISI setelah pembentukannya pada tahun 2006.
Lebih lanjut dari pertemuan ini, peserta memutuskan
untuk mengadakan pertemuan lanjutan yang langsung diputuskan sebelum pertemuan
pertama ini berakhir. Pada pertemuan ke dua dilaksanakan pada bulan February 2006 di Sekolah Raffles, Pondok Indah. Pada pertemuan ini para peserta sepakat
untuk mengadakan pertemuan ketiga. Akhirnya pertemuan ke-tiga ditetapkan tanggal 26
Agustus 2006, di Hotel Butik Sahira dan disinilah pembentukan APISI.
Berdirinya APISI
Pada pertemuan pertama, peserta mengisi kuesioner
dari panitia dan salah satu komponennya adalah kebutuhan sebuah organisasi.
Dari kuesioner itu, semua peserta menyatakan memerlukan sebuah asosiasi
perpustakaan. Itu menjadi salah satu
landasan pada pertemuan informal pustakawan sekolah ke 3 untuk sekaligus
membentuk sebuah asosiasi formal di Bogor, selain mewujudkan komitmen untuk
memelihara jejaring yang sudah terbentuk dari dua pertemuan sebelumnya. Pada
pertemuan ini nama organisasi dan kepngurusan ditentukan. Setelah itu
pengurusan landasan hukum APISI juga dilakukan. Landasan hukum sebuah
organisasi merupakan persyaratan organisasi untuk melakukan kerjasama dengan
badan-badan pemerintah, lembaga maupun perusahaan. Landasan hukum organisasi
artinya organisasi tersebut tercatat di Kementerian Hukum dan HAM Republik
Indonesia. Pencatatan hukum ini dilakukan oleh notaris untuk kemudian mengeluarkan nomer Keputusan
Menteri dan nomor wajib pajak. Program
APISI menekankan pada kegiatan akan pentingnya perpustakaan sekolah dan
pustakawan sekolah, khususnya dalam menerapkan literasi informasi yang
dilakukan oleh perpustakaan sekolah. Baru pada thun 2014, setelah 3 tahun mati
suri, APISI menambahkan program literasi
pada core programme nya. Kevakuman APISI dalam masa itu dikarenakan hampir
semua pengurusnya membantu Perpustakan Nasional dan kementerian Pendidikan
membidani lahirnya sebuah organisasi tenaga perpustakaan sekolah yang saat
pembentukannya nama yang diberikan adalah ATPUSI (Asosiasi Tenaga Perpustakaan
Sekolah Indonsia).
Program apa yang dikerjakan APISI?
APISI mempunyai tiga program
utama yaitu Kelas Pendek, Seminar Bulan
Oktober dan Konsultansi. Program ini bersamaan dengan program bagi anggota yang
dinamakan Pertemuan Informal Pustakawan Sekolah, yang merupakan pertemuan yang
dilakukan untuk mengumpulkan anggota yang tercatat untuk sharing atau
berdiskusi hal-hal terkini dalam dunia kepustakawanan sekolah baik di Indonesia
maupun di dunia. Program ini biasanya berbayar untuk menutupi pengeluaran biaya
konsumsi atau transportasi nara sumber. Sebuah program literasi yang dilakukan
sejak 2014 adalah APISI Baca Cerita, yaitu kegiatan bercerita menggunakan buku
bagi para siswa TK, PAUD dan SD. Kegiatan ini dilakukan oleh voluntir APISI
secara gratis baik pada event event perbukuan maupun di sekolah-sekolah.
Pertemuan Pustakawan Sekolah pertama setelah pembentukan APISI 2007 |
Kelas Pendek APISI I Tahun 2010 |
Selain itu, pengurus dan
anggota APISI juga diharapkan aktif dalam kegiatan-kegiatan seminar atau
workshop di tingkat regional maupun internasional. Beberapa kali APISI menjadi
nara sumber untuk konferensi IASL maupun ASEAN Workshop untuk Pustakawan
Sekolah. Beberapa award juga diterima anggota APISI untuk bisa menghadiri kegiatan
konferensi IASL di Taiwan tahun 2007 yagn diberikan kepada (Alm) Mahmudin dan di Belanda 2015 diberikan kepada Inez Kinanthi.
APISI berusaha membuat
buletin sebagai media komunikasi dengan sesama anggota, yang diberikan nama
AKURASI. Namun, hal ini menemui kendala sumber daya manusianya, sehingga
penerbitannya tidak dapat berjalan lancar.
Bagaimana APISI bertahan?
Sebuah organisasi profesi
yang mandiri dan non-profit pasti akan menemui kendala biaya dalam
pelaksanaannya. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah mengajukan proposal
kegiatan pada lembaga-lembaga pemberi donor organisasi. APISI pernah
mendapatkan dukungan dari IFLA - ALP (International Federation of Library
Association - Action for Development through Library Programme/ https://www.ifla.org/alp)
untuk menyelenggarakan Indonesian-Workshop on Information Literacy (I-WIL) tahun 2008
di Bogor. Selain itu, IFLA juga mempunyai program BSLA (Building Strong Library
Association) yang dapat memberikan donor anggaran untuk mendukung kegiatan yang
bersifat penguatan organisasi. APISI memperoleh dukungan ini pada tahun
2015, dan dimanfaatkan untuk membentuk calon-calon kepengurusan APISI di 8
propinsi. Pada acara ini juga diundang rekan-rekan organisasi perpustakaan dan
pustakawan di Indonesia sebagai salah satu persyaratan dan menghasilkan sebuah
komunitas baru yang memayungi organisasi-organisasi perpustakaan yang ada di
Indonesia yaitu AOPPI (Aliansi Organisasi Pustakawan dan Pekerja Informasi).
Apa pengaruh bagi anggota APISI?
Hal penting dalam
keorganisasian seperti APISI adalah bagaimana keberadaannya membaca impact atau
pengaruh pada anggotanya. Beberapa kegiatan hibah buku, hasil kerjasama dengan
The Asia Foundation telah dilakukan bukan saja di APISI pusat namun juga di
daerah. Selain itu, APISI sering menerima donasi buku yang kemudian dibagikan
pada anggota yang memerlukan. Selain itu, informasi maupun link yang diperoleh
melalui jejaring personal ketua dan pengurus dapat menjadi sumber informasi
bagi anggotanya. Media sosial juga dimanfaatkan untuk penyebarluasan informasi
atau untuk mendapatkan informarsi di kalangan pengurus dan anggota.
Bertepatan dengan ulang
tahun APISI ke 11, bertepatan dengan acara Seminar di Pulau Samosir, Sumatera
Utara, penulis mencoba menanyakan pengaruh APISI kepada perwakilan pengurus
APISI Sumatra Utara. Dua testimony diberikan oleh Bapak Hadi Akmal Lubis,
pengurus baru APISI Kabupaten Asahan, salah satu kabupaten di Propinsi Sumatra Utara yang baru saja bergabung di APISI tahun 2016. Tahun 2017, ia berhasil
meraih juara 2 Pustakawan Teladan Propinsi Sumatra Utara yang diselenggarakan
oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Propinsi Sumatra Utara. Hadi mengakui
bahwa karena banyak belajar dari APISI serta keinginan untuk mau belajar
otodidak dari program2 ilmu perpustakaan dari apisi, maka ia dapat mendapatkan
Juara 2 Pustakawan Terbaik Propinsi Sumatera Utarar. Menurutnya, Program APISI
cukup baik seperti ABC (APISI Baca Cerita) serta pendidikan dan latihan untuk
memberikan pelatihan pengolahan perpustakaan bagi mereka yang tidak mempunyai
latar belakang ilmu perpustakaan. (Personnal
Communication. Hadi Akmal Lubis, 26 August 2016)
Pengurus ke dua yang dimintai
testimoninya adalah Syafrizal Nazaruddin, Koordinator APISI Propinsi Sumatra
Utara. Rizal, demikian panggilan akrabnya, telah bergabung dengan APISI sejak
tahun 2007 ketika ia masih bekerja sebagai pustakawan sekolah di salah satu
sekolah internasional di Medan. Rizal juga merupakan salah satu peserta
IFLA-ALP tahun 2008 hingga tahun 2015 dan terpilih menjadi koordinator APISI
Propinsi Sumatra Utara dan dilantik kembali dengan anggota pengurus lainnya
tahun 2016. Alasan Rizal untuk terus menetap dalam keorganisasian APISI adalah
ia ingin terus mempromosikan literasi informasi, apalagi saat ini ia adalah
staf perpustakaan di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Propinsi Sumatra Utara
meskipun ia tetap fokus membantu pengembangan perpustakaan sekolah. Hal yang menjadi kekuatan APISI menurutnya
adalah proses belajar dalam kegiatan pelatihan APISI berbeda dengan bentuk
pelatihan biasanya. Ia mendapatkan banya materi dan kegiatannya melibatkan
peserta sehingga proses pemahaman materi lebih mudah dimengerti. Rizal mengaku,
ia belum belajar banyak dalam mengelola keorganisasian secara mendalam. Ia juga
menambahkan kebanyakan sekolah-sekolah yang terlibat dalam kegiatan APISI
adalah sekolah yang sudah mapan dalam segi fasilitas perpustakaan sekolah
maupun biaya pengembangan koleksinya. Dengan demikian, implementasi literasi
informasi dapat lebih diterapkan dibandingkan dengan sekolah-sekolah negeri
yang fasilitas maupun dukungan dananya masih belum mencukupi.
Penutup
Timbulnya sebuah organisasi
yang independen biasanya berasal dari kebutuhan anggotanya. Kemandirian sebuah
organisasi membuat ia dapat bergerak bebas mengembangkan dirinya tanpa campur
tangan lembaga lain yang mempunyai kepentingannya sendiri. Keberlangsungan organisasi ini bersumber pada komitmen pengurusnya serta usaha ekstra mencari sumber
dana baik itu dari lembaga-lembaga pemberi donor maupun CSR. Ukuran
keberhasilan organisasi profesi ini dapat dilihat dari bagaimana pengaruhnya
pada pertumbuhan anggotanya.
Biografi singkat:
Hanna
Chaterina George adalah Ketua Umum APISI (Assisi Perkerja Profesional Indormasi Sekolah Indonesia/Association of School Information
Professionals). Hanna menyelesaikan S1 nya bidang Ilmu Perpustakaan di Jurusan Ilmu Perpustakaan, Universities Indonesia dan memperoleh gear M.I.Kom untuk bidang yang same di Universitas Padjadjaran, Banding than 2013. Hanna pernah maenad pustakawan sekolah selma 20 than di sebum sekolah internasional di Bintaro. Ada than 2014, ia memutuskan untuk bekerja penh waktu di APISI. Saat ini Hanna aktif di International
Association of School Librarianship (IASL) dan menjabat Director of
Region 2: Asia sejak 2015. Hanna dapat dihubungi lewat email: hanna@apisi.org.
Comments