STOP PELECEHAN PROFESI PUSTAKAWAN SEKOLAH: TANGGAPAN TERHADAP KASUS GURU BERMASALAH YANG DIALIHTUGASKAN KE PERPUSTAKAAN
Adalah AR seorang guru bahasa Jawa yang dibebastugaskan mengajar karena memukul siswa. Guru dari SMPN 26 Purworejo ini kemudian menjadi petugas perpustakaan karena menurut Kepala Dinas P dan K Kabupaten Purworejo Drs Bambang Aryawan MM, agar yang bersangkutan bisa introspeksi diri. (Suara Merdeka 18 Maret 2012).
Kasus serupa sebelumnya juga pernah terjadi di Jakarta. Seorang guru berinisial PS, dikenai sangsi kedinasan dan oleh Eston Rimon Nainggolan, Wakil Kepala Sekolah Negeri 79, PS dipindahtugaskan menjadi pengelola perpustakaan sekolah dengan pertimbangan agar tidak berhubungan langsung dengan siswa. (Koran Tempo, 19 Januari 2009).
Dua kasus diatas menunjukkan adanya ketidakpahaman dari pemangku jabatan pendidikan sekolah tentang peran penting perpustakaan sekolah dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah dan tugas tanggung jawab profesional seorang pengelola perpustakaan sekolah. Perpustakaan sekolah bukanlah sebuah penjara sebagai tempat hukuman bagi orang yang bersalah untuk introspeksi diri. Perpustakaan juga bukan merupakan gudang penyimpan buku jika tidak ada siswa yang memanfaatkan keberadaannya.
Perpustakaan sekolah adalah unit terintegrasi dari sekolah induk yang mendukung kegiatan belajar mengajar dan kurikulum sekolah. Perpustakaan sekolah mempunyai beragam koleksi sumber-sumber informasi tercetak dan non cetak. Perpustakaan sekolah mengakomodasi bahan pustaka yang terus berkembang dan terjaga kekiniannya. Hal yang penting adalah perpustakaan dikelola oleh seorang pustakawan profesional.
Pustakawan profesional adalah ia yang memiliki latar belakang pendidikan ilmu perpustakaan dan informasi yang diperoleh lewat pendidikan formal di universitas.
Pustakawan profesional mempunyai tanggung jawab untuk memastikan bahwa koleksi perpustakaan yang ada sesuai dengan kebutuhan pembelajaran dan rekreasi para pemakainya. Ia juga mengembangkan program-program yang berkaitan dengan pengembangan kegiatan gemar membaca dan pendidikan pembelajaran seumur hidup melalui program literasi informasi dan media. Dengan kolaborasi bersama para guru dan staf, pustakawan profesional mengembangkan program pendidikan seumur hidup pada siswa agar mereka menjadi pembelajar abad 21. American Assocation of School Librarian dalam dokumennya Standards for The 21st-Century Learner menyebutkan perpustakaan sekolah penting untuk pengembangan keterampilan pembelajaran. Karakteristik pembelajar di abad 21 ini adalah pembelajar mandiri (self-driven learner), mempunyai keterampilan melek informasi dan media (media and information literate person), pemikir kritis (critical thinker), berkolaborasi, bekerja sama dan berbagi, mempunyai kepekaan pada lingkungan sosial sekitarnya serta nantinya dapat berpartisipasi aktif sebagai warga negara yang bertanggung jawab dalam masyarakat yang berbasis informasi.
Peran dan fungsi sebuah perpustakaan sekolah dan peran profesional pengelolanya perlu digalakkan lagi keberadaannya. Masyarakat luas, orang tua, guru, pemangku jabatan penyelenggara sekolah perlu menyadari bahwa perpustakaan sekolah bukanlah penjara untuk orang yang bermasalah ataupun gudang buku tanpa ada siswa yang memanfaatkannya. Di Indonesia, hal ini tidak sesuai dengan UU Perpustakaan Pasal 23 yang menyebutkan bahwa “Setiap sekolah/madrasah menyelenggarakan perpustakaan yang memenuhi standar nasional perpustakaan dengan memperhatikan Standar Nasional Pendidikan. Hal ini juga bertentangan dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 25 tahun 2008 yang didalamnya mengupas tentang Standar Tenaga Perpustakaan Sekolah/Madrasah yang mencakup kompetensi manajerial, pengelolaan informasi, kependidikan, kepribadian, sosial dan pengembangan profesi.
Perjalanan kepada kesadaran penuh akan peran dan fungsi perpustakaan nampaknya masih panjang dengan adanya dua kasus di atas. Namun pemidahtugasan guru bermasalah ke perpustakaan sekolah sebagai tempat buangan dan pengasingan, harus dihentikan.
Bacaan terkait:
Surat Protes Atas Kebijakan Yang Memberi Citra Buruk Perpustakaan Sekolah (APISI)
Kasus serupa sebelumnya juga pernah terjadi di Jakarta. Seorang guru berinisial PS, dikenai sangsi kedinasan dan oleh Eston Rimon Nainggolan, Wakil Kepala Sekolah Negeri 79, PS dipindahtugaskan menjadi pengelola perpustakaan sekolah dengan pertimbangan agar tidak berhubungan langsung dengan siswa. (Koran Tempo, 19 Januari 2009).
Dua kasus diatas menunjukkan adanya ketidakpahaman dari pemangku jabatan pendidikan sekolah tentang peran penting perpustakaan sekolah dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah dan tugas tanggung jawab profesional seorang pengelola perpustakaan sekolah. Perpustakaan sekolah bukanlah sebuah penjara sebagai tempat hukuman bagi orang yang bersalah untuk introspeksi diri. Perpustakaan juga bukan merupakan gudang penyimpan buku jika tidak ada siswa yang memanfaatkan keberadaannya.
Perpustakaan sekolah adalah unit terintegrasi dari sekolah induk yang mendukung kegiatan belajar mengajar dan kurikulum sekolah. Perpustakaan sekolah mempunyai beragam koleksi sumber-sumber informasi tercetak dan non cetak. Perpustakaan sekolah mengakomodasi bahan pustaka yang terus berkembang dan terjaga kekiniannya. Hal yang penting adalah perpustakaan dikelola oleh seorang pustakawan profesional.
Pustakawan profesional adalah ia yang memiliki latar belakang pendidikan ilmu perpustakaan dan informasi yang diperoleh lewat pendidikan formal di universitas.
Pustakawan profesional mempunyai tanggung jawab untuk memastikan bahwa koleksi perpustakaan yang ada sesuai dengan kebutuhan pembelajaran dan rekreasi para pemakainya. Ia juga mengembangkan program-program yang berkaitan dengan pengembangan kegiatan gemar membaca dan pendidikan pembelajaran seumur hidup melalui program literasi informasi dan media. Dengan kolaborasi bersama para guru dan staf, pustakawan profesional mengembangkan program pendidikan seumur hidup pada siswa agar mereka menjadi pembelajar abad 21. American Assocation of School Librarian dalam dokumennya Standards for The 21st-Century Learner menyebutkan perpustakaan sekolah penting untuk pengembangan keterampilan pembelajaran. Karakteristik pembelajar di abad 21 ini adalah pembelajar mandiri (self-driven learner), mempunyai keterampilan melek informasi dan media (media and information literate person), pemikir kritis (critical thinker), berkolaborasi, bekerja sama dan berbagi, mempunyai kepekaan pada lingkungan sosial sekitarnya serta nantinya dapat berpartisipasi aktif sebagai warga negara yang bertanggung jawab dalam masyarakat yang berbasis informasi.
Peran dan fungsi sebuah perpustakaan sekolah dan peran profesional pengelolanya perlu digalakkan lagi keberadaannya. Masyarakat luas, orang tua, guru, pemangku jabatan penyelenggara sekolah perlu menyadari bahwa perpustakaan sekolah bukanlah penjara untuk orang yang bermasalah ataupun gudang buku tanpa ada siswa yang memanfaatkannya. Di Indonesia, hal ini tidak sesuai dengan UU Perpustakaan Pasal 23 yang menyebutkan bahwa “Setiap sekolah/madrasah menyelenggarakan perpustakaan yang memenuhi standar nasional perpustakaan dengan memperhatikan Standar Nasional Pendidikan. Hal ini juga bertentangan dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 25 tahun 2008 yang didalamnya mengupas tentang Standar Tenaga Perpustakaan Sekolah/Madrasah yang mencakup kompetensi manajerial, pengelolaan informasi, kependidikan, kepribadian, sosial dan pengembangan profesi.
Perjalanan kepada kesadaran penuh akan peran dan fungsi perpustakaan nampaknya masih panjang dengan adanya dua kasus di atas. Namun pemidahtugasan guru bermasalah ke perpustakaan sekolah sebagai tempat buangan dan pengasingan, harus dihentikan.
Bacaan terkait:
Surat Protes Atas Kebijakan Yang Memberi Citra Buruk Perpustakaan Sekolah (APISI)
Comments